Sunday, December 17, 2006

“Click!” And Lets Go Beyond the Boundaries

“by dint of meaning, information and transparence our society have passed beyond the limit point, that of permanent ectasy of the social (the masses), the body (obesity), sex (obscenity), violence (terror), and information (simulation)” (Jean Baudriallard, The Ectasy of communication, 1987)


Internet sudah bukan menjadi barang asing lagi diantara kita. Temuan teknologi terkini tersebut telah merambah ke seantero dunia dengan cepat dan mempengaruhi kehidupan kita. Melalui internet dengan dunia cyber nya (cyberspace) bisa dikatakan bahwa manusia telah sampai pada sebuah penjelajahan global melampaui batas-batas yang tidak mungkin dilakukan pada abad sebelumnya. Internet dewasa ini dianggap sebagai penyelesaian masalah terhadap segala keterbatasan manusia untuk mengembara dalam berbagai bentuk realitas tanpa batas (Astar Hadi:2005:4)
Dunia cyber menjadi dunia baru layaknya dalam kehidupan nyata menawarkan hal-hal yang bisa dilakukan pada dunia nyata. Mulai dari chatting, conference, berbelanja bahkan mencari jodoh bisa dilakukan di dunia maya ini. Hanya dengan “click” kita diajak untuk memasuki “ruang” dimana kita bisa mencari apa saja yang kita inginkan, memasuki komunitas yang memiliki minat yang sama dengan kita, atau malah menbentuk komunitas baru sesuai dengan keinginan kita tidak dibatasi oleh jarak dan waktu yang di sebut oleh Mc Luhan sebagai “Global Village”.
Cyberspace sebagai bentuk jaringan komunikasi dan interaksi global (Astar hadi: 2005:7) dengan bangga menawarkan system nilai dan bentuk komunitas sendiri, yaitu yang disebut komunitas virtual.

Menurut Yasraf Amir Piliang bahwasanya dalam era globalisasi dan abad virtual dewasa ini, banyak konsep sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas menjadi semakin kehilangan realitas sosialnya dan akhirnya menjadi mitos, dan menggiring masyarakat global kearah akhir sosial (Piliang : 2004:133).

Internet sebagai media komunikasi massa
Lebih dari setengah abad kebelakang, Amerika Serikat dan Negara-negara ekonomi maju secara gradual telah membuat perubahan kedalam apa yang biasanya disebut masyarakat informasi “era informasi” (Fukuyama: 2000). Dan keberadaan internet sebagai salah satu media masa yang bertujuan memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada khalayak.
Kita sedang berada pada sirkuit dimana kita dituntut untuk berpacu menerima dan mereproduksi informasi-informasi baru. Sehingga sangat sulit lagi di bedakan mana informasi-informasi yang asli dan mana yang salinan. Hampir tidak ada lagi originalitas sebuah informasi. Dengan jaringan kerja yang begitu luas dan kemampuan akses yang cepat dengan jarak yang luas teknologi ini menawarkan sisi lain dari komunikasi yang mendunia. Sekali lagi dengan “click” kita bisa mengirmkan, mengkopi atau mendownload informasi bersamaan dengan munculnya informasi itu sendiri. Berita tentang polygami aa Gym membajiri milis setiap komunitas dunia maya, didiskusikan, tafsir-tafsir ayat tentang ploigami segera bereadar di seantero Indonesia bahkan oleh komunitas Indonesia di luar negeri pada saat bersamaan si aa Gym mengeluarkan statementnya.

Terperangkap dalam realitas yang semu
Di dalam dunia virtual ini kita mendapatkan pengalaman luar biasa yang mungkin tidak dapat kita temui pada dunia nyata. Dunia ini bukanlah seperti ruang dalam arti sesungguhnya, melainkan sebuah metafora , sebuah “ruang simbolis” yang menjadi ruang jutaan manusia tidak dalam pengertian fisik. Sebagai contoh apabila kita bekomunikasi melalu chatting di internet di mana orang-orang akan bertemu dalam “ruang simbolis” yang memungkinkan kita berbagi informasi dan berinteraksi dengan keterlibatan emosi sebagaimana di dalam ruang sesungguhnya. Perasaan kita bisa tergantikan oleh ikon-ikon yang tersedia pada ruang chatting seolah–olah kita sedang mengekspresikanya secara langsung. Tertawa, menangis, sedih dan marah bisa terwakilkan oleh smiles pada ikon-ikon yang sudah tersedia tersebut.
Kita diajak untuk mendapatkan pengalaman lain mengembara dalam realitas tanpa batas, tidak hanya melihat gambar visual, lebih jauh lagi merasakan pengalaman yang sangat kompleks, dan hebatnya semua dapat kita lakukan tanpa beranjak dari tempat duduk kita. Cukup “click” saja.

Mengutip pernyataan Paul Virrilio dalam the Aesthetics of Disappearances, untuk”..menjadikan sesuatu yang supernatural, imajiner, bahkan yang tidak masuk akal menjadi tampak sebagai realitas (Astar Hadi: 2005:19). Kita telah banyak di manipulasi oleh image semu yang nyata. Virtualisasi media ini telah mampu mensimulasi berbagai bentuk realitas dalam ruang-ruang maya (Piliang:2001:179) di mana dalam sifat virtualitas media elektronika realitas bisa dikonstruksikan atau di rekonstruksi Inilah yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagi hiperreality untuk menjelaskan rekayasa makna dalam media.
Interaksi dalam realitas semu pada akhirnya mempengaruhi kehidupan kita. Nilai-nilai sosial yang lebih banyak menuntut norma, toleransi dsb mulai luntur mulai dan tidak populer. Keasyikkan bercyber dalam dunia maya telah mengurangi waktu untuk berinteraksi dengan orang lain dalam arti yang sebenarnya. Jarak hanya sejauh jangkauan jari telunjuk kita untuk meng click mouse. Dan kita terjebak dalam realitas semu yang kita sendiri menikmatinya.

Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi yang telah membawa kita pada “dunia global” dibanyak sisi mendatangkan manfaat. Sebagai contoh informasi tentang ilmu pengetahuan dapat dengan mudah kita akses tanpa perlu tergantung pada guru atau seseorang untuk memberikan penjelasan. Disisi lain banyak nilai-nilai humanis mulai hilang, interaksi yang menjadi syarat dalam kehidupan sosial telah mengalami erosi. Kita telah dipaksa untuk merekonstrusi definisi-definisi kehidupan sosial yang telah dijungkir balikkan oleh kehidupan sosial lain dalam dunia nyata yang semu. Pada akhirnya apakah kita akan bertahan atau terbawa ke dalam rimba raya, itu menjadi pilihan kita. Sangat diperlukan kearifan dan pemahaman untuk menghindari hancurnya tatanan sosial, sebagaimana di ramalkan oleh Francis Fukuyama perubahan – perubahan yang dramastis memunculkan “Great Distruption” (Fukuyama:2002)

Yogyakarta 18 Desember 2006

Rujukan
Fukuyama, Francis.2002. “The Great Disruption, Hakikat Manusia Dan Rekonstruksi Tatanan Sosial”. Yogyakarta :Qalam
Hadi, Astar. 2005. “Cyberspace, Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagat Maya”. Yogyakarta : LKIS
Ibrahim, Idi Subandy (editor).2004. “Lifestyle Ecstay, Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia”. Yogyakarta :Jalasutra 2004
Piliang, Yasraf Amir. 2004. “Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampai Batas-Batas Kebudayaan”. Yogyakarta :Jalasutra

Sunday, December 10, 2006

Samira dan Samir



Sebuah novel karya Siba Shakib
Penerbit Alvabet Jakarta
Tebal : viii+363


- Resensi ini sebagai hadiah untuk ummu Safin-

Terlahir sebagai “Samira” (perempuan), ayahnya salah satu kepala suku di pegunungan Hindu Kush di Afganistan merasa sangat kecewa. Sebagai seorang “komandan” istrinya harus mampu melahirkan anak laki-laki agar menjadikanya pria dan pemimpin sejati. Samira kemudian didiknya menjadi “Samir”- agar kelak menjadi seperti dirinya. Dan rahasia ini harus tetap terjaga agar dia sebagai pemimpin tetap dihargai karena telah memilki putra.

Samira yang Samir tumbuh cerdas dan tangkas, sampai suatu ketika di masa kanak-kanaknya dia menyadari ada sesuatu yang salah dengan dirinya, dia dibingungkan oleh makna “laki-laki sejati” definisi sang ayah tidak cukup memuaskan jawabanya, bertanyalah sang bocah kepada sang Ibu. Sang Ibu yang dibesarkan dengan tradisi dimana perempuan bukanlah pemberi jawaban atau pembuat keputusan pun tidak mampu memberi jawaban. Samira yang Samir memutuskan untuk menjadi bisu dan tetap tumbuh menjadi Samir. Samira tahu bahwa dia harus membahagiakan ayahnya dan ayahnya dan itu adalah jika dia menajdi Samir.

Waktu berlalu, musim berganti dan perang tetap terjadi di Afganistan, di pegunungan Hindu Kush. Novel ini yang mengambil setting masyarakat nomaden di pegunungan Hindu Kush, dengan keganasan perang , dan dengan pemikiran orang-orang nya tentang definisi “perempuan” dan “laki-laki”. Dengan bahasa yang runtun dan Indah dan agak radikal Siba Shakib telah mampu membawa saya seperti menyaksikan sebuah film nyata.

Sang komandan syahid di medan perang, beban bertambah berat ketika suatu malam sekelompok orang menodai kehormatan sang ibu dan memaksa Samir menjadi pembunuh mereka dan ibunya kehilangan akal sehatnya. Kehidupan telah membawa Samir yang Samira melihat banyak hal dan mempertanyakan banyak hal. Karena ia telah mengakhiri kebisuanya.
Sampa pada suatu hari kakeknya membawanya kepada seorang guru, dimana Samir belajar membaca dan menulis dan mengetahui, bahwa dunia lebih luas dari yang ia saksikan. Dan bagaimana wanita menjadi tetap tertindaskan. Dan ilmu pengetahuanpun tidak mampu memberikan kemerdekaan.

Bukan saja alur cerita yang menarik Samir talah membuka kita bagaimana perempuan tertindaskan oleh hegemoni definisi laki-laki dan perempuan pada masyarakat Hindu Kush pada saat itu. Dunia yang di bangun bahwa laki-laki lah yang punya hak untuk merdeka dan berhak mengambil kemerdekaan perempuan.

Samira yang Samir tumbuh dan terus tumbuh, dengan ketangkasanya sebagai pemuda sejati dan dengan kelembutan hatinya sebagai wanita. Dia menjadi bimbang ketika perasaan-perasaan sebagai manusia dewasa mulai tumbuh dalam dirinya, apakah dia Samir atau Samira dan ketika dia menyadari bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Bashir teman kecilnya, akan tetapi karena dia seorang pemuda dia telah diminta menikahi Gol Sar yang saudara perempuan Bashir. Siba menceritakan dengan indah membawa pembacanya kedalam setting yang telah dia tentukan, menyaksikan pergulatan hati nurani, perjuangan dan kepiluan yang menyayat. Ada cerita dalam cerita sebagai bumbu dalam novel ini dan semakin menambah keasyikan sendiri dalam membacanya.
Sekali lagi saya belajar tetntang apa itu penindasan, kemerdekaan, cinta, kebahagian dan perjuangan. Sebuah novel yang sangat layak dibaca oleh yang mengaku sebagai perempuan atau laki-laki sejati.

-Selamat Membaca-

Monday, December 4, 2006

Gandhi Cintaku

Sebuah Novel oleh Sudhir Kakar
Penerbit : Qanita, 2005


Dalam sebuah perjalanan panjang menuju London, Aku merogoh isi tas jinjing untuk menemukan buku apa yang kubawa sebagai kawan perjalanan. Tadi karena tergesa- gesa, hanya mencomot 2 buah buku yang tidak terlalu tebal dari rak tanpa memperhatikan lagi judulnya.

Aha..ini dia aku mendapatkan satu diantaranya, setelah beberapa saat mengaduk-aduk tas yang tidak pernah rapi. Sebuah novel kecil berwarna hijau, bergambar seorang gadis menggenggam sekuntum mawar, agak sedikit ke atas gambar Mahatma Gandhi sengaja di buat tersamar. Sebuah Novel Sudhir Kakar seorang penulis dan psikoanalisis terkenal. Aku membelinya bulan lalu, karena kesibukan dan tertimbun oleh buku-buku lainya ,bahkan belum sempat membacanya.

Sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata seorang Mahatma Gandhi. Tentunya orang sudah sangat terbiasa membaca kisah-kisah Gandhi- Sang Guru. Tentang perjuanganya membebaskan India dari kolonial Inggris, tentang kecerdasanya, tentang cita-citanya akan tanah kelahiranya. Akan tetapai novel ini agak sedikit berbeda, mengungkap tentang kisah asmara sang guru dari cinta tak berujung sang pengagum, pemuja, dan sang murid. Sebelum mulai membacanya, aku sempat bertanya dalam hati “Adakah Gandhi mempunyai perasaan cinta dalam diri laki-lakinya, meskipun aku tahu bahwa dia menikah dengan Mahadevbhai pada usianya yang masih muda, tetapi aku bahkan tidak pernah memikirkan atau memperdulikan apakah Gandhi juga mempunyai rasa cinta indivudu terhadap wanita, yang kutahu adalah Gandhi dan perjuangan kemerdekaan India.

Diterjemahkan dari judul Mira & the Mahatma, Sudhir menyusun kisah-kisah nyata dengan bahasa indah dan santun. Terkadang Aku harus berhenti membaca beberapa saat untuk menghapus air mata, merasakan kepedihan Mira, seakan ikut merasakan cinta terpendamnya. Sebuah kisah biasa yang melibatkan seseorang yang luar biasa, yang juga Aku kagumi.

Adalah Madeline Slide, putri seorang Admiral Inggris, memutuskan untuk meninggalkan kehidupan mapanya di London, menukarnya dengan kerja keras dan kehidupan sederhana di Asrham Sabarmati Gujarat, tempat yang ia datangi untuk mengabdi kepada Gandhi. Waktu itu 1925, waktu dia memutuskan untuk meninggalkan London menuju India. Suasana politik di India sedang tenang, karena Inggris sangat pecaya bahwa daya tarik Gandhi sedang turun dan bahkan sudah habis. Padahal bagi pengikutnya dan bagi India, Gandhi tidak pernah mati, bahwa kejutan-kejutan lain akan segera muncul untuk mewujudkan swaraj (Pemerintahan Sendiri) bagi India.
Madeline Slide begitu mengagumi Gandhi, kekagumanya membawanya menuju Gujarat, mengikuti spirit dalam hatinya untuk bertemu manusia yang dianggapnya suci. Romain Rolland seorang pengarang besar Perancis yang juga pengagum dan sahabat Gandhi, yang berperan akan pertemuan Madeline dengan Gandhi.

Gandhi Sang Guru memberinya nama Mira (Mirabhen), Mira adalah nama seorang putri yang diberkahi karena pengabdian dan ketekunanya. Mira memanggil Gandhi Bapu sebagaimana komunitas Ashram lain memanggilnya. Gandhi adalah Bapu bagi semua pengagumnya.

Menyatu dengan ritme kehidupan Gandhi menjalani hari-harinya dengan tokoh besar yang sederhana dalam komunitas Ashram yang dibangunya dan dengan cita-cita swarajnya. Mira juga secara langsung belajar tentang ajaran-ajaran Gandhi, bukan hanya pengabdian murid kepada guru yang dipujanya, Aku merasakan cinta semakin kuat tumbuh dalam diri Mira.

Keinginan Mira untuk lebih dekat kepada Gandhi kini berubah menjadi kebutuhan yang mendesak, dan ketika itu tidak terpenuhi, berubah menjadi candu. Mira merasa menderita akibat sakitnya sebentar saja perpisahan dengan Sang Guru. Cintanya bukanlah cinta fisik, cinta yang ingin memiliki raga, melainkan kesatuan antara cinta dan pergulatan spiritual dalam dirinya.
Suatu saat guru bahasa hindinya memberikan sebuah lagu gubahan Mirabai, Mira menyalin lagu itu lagi dan lagi aku dapat merasakan gubahan lagu itu sangat mewakili perasaanya terhadap Gandhi, begini syairnya:

Aku gila karena Cinta, tak seorangpun tahu sakitnya yang kurasa
Hanya mereka yang terluka tahu pedihnya luka, tak seorang pun
Hanya jauhari yang tahu nilai permata, bukan orang yang menghilangkanya
Oh, Tuhan, sakit M ira hanya akan hilang
Jika sang Hitam menjadi penyembuhnya
(Sang Hitam atau the Dark One adalah sebutan untuk Dewa Khrisna yang memang berkulit hitam- catatan penterjemah)


Mira menyadari bahwa cinta dan kekagumanya kepada Bapu telah menjadi candu baginya, dan Bapu juga telah menyadari hal itu. Dari paparan kisah Sudhir, bagaimana Bapu memperlakukan Mira dan surat-surat yang disalin ulang dalam novel ini Aku bisa bisa melihat Gandhi, sebagai manusia biasa juga menaruh rasa cinta terhadap Mira, akan tetapi kerendahan hatinya dan ketinggian spiritualismenya Sang Guru begitu elegan mengontrol dirinya, dan bagiku memanglah dia seorang tokoh besar dibalik kesederhanaan hidupnya.

Salah satu surat Gandhi untuk Mira yang ditulisnya dalam gerbong kereta api tertanggal 22-3-27

Chi Mira,
Perpisahan hari ini memang sedih karena aku melihat bahwa aku membuatmu merasa sedih…kau seharusnya tidak bergantung padaku dalam tubuh ini. Ruhku akan selalu bersamamu. Dan itu lebih baik daripada ruh diriku kini yang lemah dan terpenjara oleh semua keterbatasan tubuh fisik. Ruh tanpa batasan fisik adalah yang kita butuhkan. Ini hanya bisa dirasakan kalau kita belajar untuk menerima perpisahan. Inilah sekarang yang harus kau lakukan.
Itu yang akan kulakukan jika aku menjadi kamu. Tetapi kau harus berkembang sesuai dengan jalurmu sendiri. Karena itu kau pasti menolak semua yang kukatakan disini, kalau itu tidak sesuai dengan kata hatimu dan pikiranmu. Kau harus mempertahankan individualitasmu, apapun resikonya. Tolaklah aku kalau perlu. Karena bisa saja aku salah menilaimu meskipun aku menyayangimu. Aku tak ingin kau menyalahkanku atas ketidaksempurnaanmu.

Dengan cinta,
Bapu


Sungguh Aku melihat sisi manusiawi seorang Gandhi. Dalam surat pendeknya yang lain ketika dia melakukan tapasya (pengekangan spiritual dalam rangka penyucian diri) berkaitan dengan kejadian di Ashram, dua orang anak laki-laki kedapatan melakukan hubungan seksual. Dia melakukan tapasya, karena dia menganggap hatinya yang mulai terkotori hal-hal keduniawian yang menyebabkan kejadian itu.

Mira,
Aku tidak akan menemuimu selama seminggu, aku akan merindukan kebersamaan kita, tetapi aku tidak boleh bergantung padanya. Aku menunggu jawaban nuraniku tentang nafsu tersembunyi dalam diriku yang telah mencemarkan ashram, dan pikiran anak-anak itu. Aku tidak tahu kapan jawaban itu akan dtaing ataukah jawaban itu akan benar-benar datang.
Kuharap kau bisa menemaniku ke siding kongres tahun ini. Sidang itu akan diadakan di Kanpur pada akhir bulan

Berkah Bapu


Dalam surat-surat Mira yang disalin ulang dalam novel ini Aku terhanyut akan cinta Mira terhadap Gandhi, pemujaan yang tidak rasional sebagaimana layaknya seseorang yang sedang jatuh cinta. Cintanya adalah manifesto dari kekaguman, kecintaan, pengorbanan, pengabdian, dan perjalanan spiritual menuju kepada seorang tokoh dunia. Seorang Gandhi.

Gandhi yang juga manusia biasa, akan tetapi kesalehanya dan cita-citanya akan kemerdekaan India yang telah lama menggembleng sisi kemanusiaan dari dirinya, dalam suratnya yang santun Gandhi menyampaikan:

Engkau ada di otakku. Aku memandang sekeliling, dan merindukanmu, Aku membuka Charkha (roda tenun) dan merindukanmu…Kau telah meninggalkan rumah, bangsamu dan semua yang berharga, bukan untuk mengabadi kepadaku secara pribadi, melainkan mengabdi pada tujuan yang kuperjuangkan. Setiap kali kau menghambur-hamburkan cintamu hanya untukku pribadi, aku merasa bersalah karena tak pantas. Dan aku meledak karena hal-hal kecil. Kini, saat kau tidak bersamaku, kemarahanku tertuju pada diriku sendiri kerena telah memarahimu dengan keras. Tetapi aku berbaring diatas abu panas setiap kali aku menerima pengabdianmu. Kau akan benar-benar mengabdi padaku apabila engkau dengan gembira bergabung dalam perjuangan cita-citaku.

Ah..Gandhi, Kerendahan hatimu dan kekerasanmu akan cita-cita swarajmu, telah mengalahkan sisi paling manusiawi dalam dirimu.
Terkadang cinta memang menyakitkan.

Pilot memberitahukan bahwa sebentar lagi kami akan segera mendarat di Hetrow, London dalam musim dingin, Suhu di darat 2°C- Ah..betapa bekunya Kota ini.
Aku mengakhiri halaman terakhir novel ini. Menutup kepedihan Mirabhen dan kesahajaan Gandhi.
Gandhi Cintaku

“SECARA”

“Na sorry gue nggak bisa ketemu eloe malam ini “SECARA” gue masih ada kerjaan”

Itulah penggalan kalimat yang di ucapkan teman saya yang baru saja datang dari Jakarta, dilain kesempatan teman lain mengirimkan pesan singkatnya begini

“Na bagaimana kalau kita makan di AMPLAS (Ambarukmo Plaza-red) "SECARA" tempatnya asyik “

Manager komunikasi saya yang datang dari Jakarta, menggunakan kata "SECARA" secara bertubi-tubi pada setiap ucapannya tidak peduli nyambung atau tidak dengan kalimatnya.

Awalnya saya berfikir dia tidak bisa berbicara bahasa Indonesia dengan baik dan benar- tapi apa iya seorang manager komunikasi tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu saya memberanikan diri menanyakanya padanya. Apakah dia sengaja menggunakan kata ”SECARA” tidak pada tempatnya, atau dia tidak tau kata sambung yang tepat apa?
Eh…dia malah mentertawakan saya…”Na… "SECARA" eloe kagak gaul sih!!”
Nah lho, rupanya SECARA sudah secara resmi menjadi bahasa gaul dan saya di bilang tidak gaul karena tidak menggunakannya.

Saya menemukan kecenderungan baru penggunaan kata “SECARA” menjadi kata sambung- meskipun tidak pada tempatnya. Walaupun saya bukan pemakai bahasa Indonesia yang baik dan benar, penempatan kata yang tidak tepat pada sebuah kalimat-kalimat terutama yang di ucapkan verbal tetap menjadi aneh di telinga saya. Parahnya ada seorang teman yang sudah mulai memakai SECARA dengan tidak pada tempatnya ke dalam bahasa surat menyurat elektronik resmi.

Saya kira televisi si magic screen yang turut menyebarkan trend berbahasa ini. Melihat acara-acara komedi yang marak di televisi, mereka menabur virus jargon-jargon bahasa baru yang dengan cepat menyebar dikalangan muda dan memakainya sebagai bagian dari bahasa sosial mereka. Kalangan muda sangat khawatir kalau sampai disebut “kurang gaul” apabila tidak memakai gahasa-bahasa yang trend di pakai saat ini.

Saya menjadi sangat prihatin dengan “pemerkosaan kalimat” untuk mengikuti trend…tapi yah saya bisa apa? SECARA saya bukan siapa-siapa…aduh..MÉNÉ KÉ TÉHÉ !!(mana ku tahu-red)

Yogyakarta October 2006