Saturday, February 3, 2007

Feeling the Freedom


a book review of Reading Lolita in Tehran
The #1 New York Times Bestsellers
A memoir in a book by Azar Nafisi
347 + ix (pgs), published by Random House USA

-For Ayox, in the loneliness island of Bacan North Maluku, enjoy reading life sentences-


“The genuine democracy cannot exist without the freedom to imagine and the right to use imaginative works without any restriction” (Nafisi on Reading Lolita in Tehran)


I was accompanying my friend looking for English books in one foreign bookstore in Yogya, when I saw “Reading Lolita in Tehran”. I read the comments on the back page; it was very attractive, successfully persuaded me not to leave the bookstore without having it.

Imported books are much more expensive here, even though Yogya has many English readers as a tourism place, it does not has any impact of the price of imported book to getting cheaper. But I don’t want to wait until the translated edition published in Indonesia, it may take 2 or 3 years after.

This book is a memoir of a university teacher who teaches literacy, named Azar Nafisi. Teaching in the Islamic Republic was subservient to politics and subject to arbitrary rules. She resigned from the university she used to work, she felt there is no freedom on exploring the subject she teach under the arbitrary and narrow minded of the regime. Then she selected seven female of her students continuing the class at her house, a secret class.

Under the Iran revolutionary regime with very fundamentalist Islamic setting, she teaches western classic literacy. They gathered the freedom of thought trough fictions. It seemed that Nabokov’s novel “Lolita” was inspiring this book. They tried to understand, the reality of life under the regime and the reality on fiction.

Why Lolita? Lolita was not critique of the Islamic Republic. Lolita a novel about a man who in order to possess and captivate a twelve- year old girls, indirectly causes the death of her mother. Lolita went against the grain of all totalitarian perspectives. Nafisi asks to imagine reading Lolita in Tehran, connecting to their reality of life. Nabokov calls every great novel a fairy tale, every fairy tale offers the potential to surpass present limit that reality denies. In all great works of fiction, regardless of the grim reality they present there is an affirmation to life against the transience of that life, an essential defiance.

Not only reading and exploring Lolita, in this book you will explore more other classical fictions, you will felt that you are in the class and directly teach by Nafisi. Set up your own background by imagined her mind set. This book also compassion of Nafisi, passed the years under the regime.

Nafisi described be a woman living under the tyrant is like having sex with a man you loathe. It is like if you are forced to having sex with someone you dislike, you make your mind blank, you pretend to be somewhere else, you tend you forget your body, and you hate your body. She created original work on the relationship between life and literature.

I persuade you, to read this book, especially for my female friends, and let us celebrate the liberating power of literature.

Cheers

Detektif Feng Shui


-Kumpulan kisah petualangan detektif-


Karya : Nuri Vittachi
Penerbit : C! Publishing (PT Bentang Pustaka)
Tebal : 378 hal

Bosan membaca karya sastra yang serius dan berat? Mungkin novel yang satu ini bisa menjadi selingan. Gaya bahasanya kocak dan ringan. Membacanya kita akan menemukan banyak kosa kata unik yang lucu dan baru, toh dengan bahasa yang terkesan konyol kisah-kisah yang diceritakan mengandung banyak kebajikan dan pelajaran hidup.

C.F Wong adalah seorang ahli feng shui yang menetap di Singapura, bekerja pada sebuah perusahaan yang memberikan jasa tata letak ruangan atau bangunan dengan perhitungan-perhitungan aliran energi atau biasa di sebut chi. Suatu hari bosnya menitipkan seorang anak dari klien terbesar perusahaan tersebut untuk belajar feng shui bersamanya, dan menjadi assisten bagi Wong. Seorang gadis Amerika, yang harus bekerja dengan seorang Asia dan dengan setting Asia yang kental.

Wong tidak bisa menolak, karena ayah sang gadis adalah klien yang cukup berperan dalam perusahaanya- toh pada akhirnya mereka pun berpartner, menangani order-order penataan ruangan, taman, rumah dan lain-lain.
Joyce McQuinnie, begitu nama gadis Amerika itu, banyak mengajarkan wong kosa kata bahasa Inggris, yang menurut wong aneh.

Dengan keahlian feng shuinya, wong tidak saja memberikan nasehat feng shui, tetapi malah mengungkapkan berbagai kasus kejahatan, pembunuhan dan skandal sebuah perusahaan media. Bagi para penggemar cerita detektif yang biasa membaca karya Agatha Crishti, novel kecil ini bisa dijadikan pilihan lain, dan tidak melulu bermain dengan logika Poarot. Bagi saya yang pernah sedikit belajar tentang ilmu bangunan, logika feng shui cukup masuk akal dan layak di praktekkan untuk keharmonisan bangunan, alam dan manusia.

Dalam novel ini, kita tidak hanya diajak berpetualang, memecahkan misteri-misteri dengan logika feng shui, lebih jauh kita akan disuguhi mutiara-mutiara kebajikan dari timur di padu dengan kisah kocak dan bahasa yang segar, sebuah sketsa lintas budaya yang dikemas dalam bahasa novel detektif yang ringan, cocok di baca di akhir minggu untuk menghilangkan penat setelah satu minggu bekerja. Lagi-lagi sebuah provokasi, untuk anda sekalian membaca sendiri karya ini. Selamat membaca!

“Siapa Suruh Datang Jakarta”

Dari semalam radio butut di kamar kost saya , gencar memberitakan banjir di Ibukota republik ini. Pagi pagi pun berita di RRI pro 3, Trijaya FM dan Eltira masih dengan topik bahasan yang sama, mulai dari transportasi yang lumpuh, istana kepresidenan yang kebanjiran, tinggi muka air di pintu-pintu air terus di pantau dan di beritakan, talk show mulai dari ahli agama, ahli kebijakan, ahli tata bangunan dan ahli-ahli lainya membahas hal yang sama pula (mungkin juga termasuk ahli nujum).

Yang ahli agama bilang sabar…ini adalah ujian dari yang maha kuasa, yang ahli kebijakan bilang ini adalah kesalahan kebijakan, yang ahli bangunan bilang ada kesalahan perencanaan dan kesalahan teknis..opini-opininya malah bikin saya pusing. Menurut saya sih nggak usah banyak komentar deh para ahli itu, lebih bagus bantuin angkat-angkat barang para korban yang kebanjiran, dari pada sekedar talk show. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga radio, hidup dari cuap-cuap, dan saya pun nggak rugi-rugi amat, malah bisa memantau keadaan diluar Jogja sambil sesekali mendengarkan lagu-lagu yang up to date.

Belum lagi menjelang siang di kampus tempat saya belajar, YM bergetar BUZZ!!!…seorang kawan yang pernah jadi boss saya yang sekarang sedang bertugas di Jakarta menyapa (lebih tepat dibilang menggerutu). Dan diskusi via YM pun mengalir, “negara kita memang negara kelas menengah keluhnya, birokratnya kelas menengah, elit politiknya kelas menengah, intelektualnya kelas menengah…” makanya kebijakan yang dibuat juga setengah-setengah, belajar uga setengah-setengah, bekerja juga setengah-setengah begitulah yang saya pahami dari keluh kesahnya. Beberapa ungkapan kekesalan masih muncul dalam box YM saya, dan saya biarkan kawan saya berkeluh kesah tentang republik ini.

Saya menanyakan kabar Jakarta, mengingat berita banjir yang juga membanjiri berbagai media termasuk radio kesayangan saya di Jogja. Alih-alih memberi kabar tentang keadaanya, kawan saya terus mencercau tentang bobroknya negeri kami ini, ya rumah kami ini. Mencoba mencari perbandingan dengan negara tetangga Singapura yang baru dikunjunginya beberapa waktu lalu. Kalau begini memang enak tinggal diluar negri ya…begitu katanya. Nah lho!!!, rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau ya.

Kawan saya ini seorang aktivis atau paling tidak sok aktif lah atau pura-pura aktif (begitu biasa saya menggodanya), saya bisa maklum kalau dia sefrustasi ini. Saya menyarankan untuk meluapkan kemarahanya ke media, “tulis di koran”, saya mencoba memprovokasi, tapi saya tidak menyarankan dia untuk ikutan talk show (he..he..), katanya, berkali-kali dia menulis, tidak juga ada pengaruhnya, tidak ada perbaikan…bla..bla…bla… , chatting berujung pada protesnya akan pemenuhan hak ekosob (ekonomi sosial dan budaya), sebagai bagian dari HAM, aduh “hari gini ngomongin HAM, di republik ini, mimpi kali yee…saya mencoba menimpali (saya juga pura-pura sok intelek ), saya jadi terikut mengomentari keluh kesahnya akan keadaan yang sedang terjadi di Jakarta.

Kebetulan minggu lalu saya menghabiskan waktu seminggu di Jakarta, menengok keluarga besar yang memang sudah menjadi warga Jakarta sejak lama. Lalu gantian saya yang mencercau tentang Jakarta, sungainya dipenuhi sampah yang baunya membuat hilang selera makan, transportasinya yang kacau. Jangankan untuk kaum pendatang, untuk warga Jakarta sendiri saja menurut saya sudah tidak ramah, sama sekali tidak nyaman, dan bikin saya depressi apalagi apabila hendak bepergian. Karena saya harus menggunakan angkutan publik (maklum ekonomi lemah dan tidak punya mobil sendiri). Boleh percaya atau tidak, saya bisa mendadak sakit perut bila hendak bepergian di Jakarta, membayangkan macetnya, membayangkan bau selokan dan sungai-sungai yang ditimbuni sampah, membayangkan berlari-lari mengejar bis tetapi tetap harus berdiri juga karena bis yang penuh sesak, atau harus olah raga jantung bila harus naik metro mini yang supirnya ugal-ugalan…kata teman saya yang seorang psikolog ini namanya psikosomatis.

Kok bisa ya..kota yang sangat tidak ramah ini terus dibanjiri kaum urban yang hendak mengadu untung. Padahal lebih banyak “buntung” dari pada untung yang diraih. Menjadi PRT, PKL, PSK, mengamen dengan alat musik dan suara pas-pasan, tinggal di bantaran sungai atau sepanjang bantaran rel kereta mungkin dianggap lebih nyaman dibandingkan harus mencangkul dan menunggu hasil panen (yang kemungkinan panen berhasil juga tidak bisa dijamin).Atau tempat asalpun sudah tidak menjanjikan kesejahteraan bagi mereka, mungkin kota asalnya justru lebih kejam dari pada ibukota, entahlah saya lelah memikirkanya…

Saya pamit kepada kawan saya, untuk sign out karena masih ada yang harus saya selesaikan dengan para birokrat di kampus. Teman saya menyarankan untuk segera bergegas bila berurusan dengan birokrat, maklum hari jum’at. Mereka biasa memakai alasan “jumat” untuk tidak melayani mahasiswa dengan maksimal (Oh…Indonesia…Indonesia…kapan berubah??)

Kembali ke kamar sewa, sayup-sayup suara dari radio masih memeberitakan banjir, yang katanya sudah merangsak ke jalan-jalan protokol ibukota (rupanya saya lupa mematikan radio tadi pagi). Duh….susahnya jadi orang Jakarta.

Untuk Cahaya_ Matajalan, Siapa Suruh datang Jakarta….Lets go home!!

Yogyakarta, 2 Februari 2002

Don’t Judge a Book by its Cover

Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya, begitulah kira-kira terjemahan bebas dari judul diatas. Ungkapan tersebut sudah lama saya dengar, sama dengan cara kita menilai seseorang, buku juga tidak hanya bisa dilihat dari tampang luarnya saja, isi mungkin lebih penting dari sampulnya.

Akan tetapi bagi saya, sampul buku tidak dapat dipisahkan dari sebuah karya tulis menulis secara keseluruhan, karena design sampul itu sendiri adalah sebuah karya yang juga patut dihargai. Saya selalu tertarik dengan sampul buku yang gambarnya bagus dan buru-buru saya buka halaman yang menyebutkan sang designer sampulnya. Bagaimana mereka bisa menuangkan isi cerita buku tersebut dalam satu lembar sampul. Lihatlah contoh-contoh sampul buku ini. Bukankan sebuah karya yang luar biasa?


Makanya saya agak kurang sependapat dengan ungkapan diatas, Cover sangat penting, apalagi karya-karya sastra atau buku-buku umum. Sampul harus mampu menggelitik daya imajinasi kita untuk membayangkan isi dari sebuah buku. Buku-buku yang bagus harus ditunjang oleh design sampul yang bagus, agar karyanya mejadi lebih sempurna. Meskipun banyak juga sampul yang menipu, yang tidak sebagus isinya.

Menghargai sebuah karya tulis adalah menghargai sebuag kerja invisible team, menghargai kerja editor, penyunting, designer sampul, penerbit, penterjemah dan tentu sang penulis sendiri.
Masih agak sulit bagi kita untuk memberi penghargaan akan karya-karya tulis. Kita tinggal dalam negara yang carut marut oleh berbagai permasalahan ekonomi, bencana, dan pertarungan politik yang bagai tiada akhir. Alih-alih mempromosikan budaya membaca dan menulis, harga buku yang berkualitas semakin tidak tejangkau oleh kebanyakan penduduk. Sehingga pembajakan buku pun menjadi bisnis yang lebih menguntungkan pembajak sekaligus meringankan para pembeli, siapa yang hendak disalahkan? Jangankan membeli buku, buat makan saja masih harus berfikir. Bagaimana mau mengekspresikan ide dalam tulisan, bila masih disibukan dengan urusan banjir, hutang, spp anak-anak yang belum terbayar yang juga butuh pemikiran daripada sekedar menuangkanya dalam ekspresi tulis, sedang perpustakaan umum tidak bisa menjadi alternatif sebagai lokasi yang layak dikunjungi, kecuali bagi para kutu buku..yang haus ilmu yang murah meriah..duh

Akan tetapi skeptisme pun tidak akan menyelesaikan masalah, kenapa tidak kita mulai dari, mencintai karya-karya orang-orang hebat yang mampu menuangkan imajinasi, ide, dan berbagi ilmunya melalui buku, lebih bagus lagi mencoba berbagi seperti mereka, saya teringat akan Pramoedya Ananta Toer, katanya “ Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama dia tidak menulis, dia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah, menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

So..Dont judge books on your “koper” (baca: jangan hukum buku di dalam koper anda) artinya buku jangan cuma disimpan dalam koper, hargailah mereka dengan membacanya :-p, dan mulailah menulis..
Wassalam