Tuesday, June 5, 2007

Sedikit melongok hasil dari proses Rekonstruksi


(Sebuah oleh-oleh dari Banda Aceh)

Untuk kesekian kalinya, dengan alasan “tertentu” saya kembali ke Banda Aceh. Kota yang konon saya cintai. Kira-kira sudah hampir satu tahun ketika saya memutuskan untuk berhenti bekerja di kota serambi Mekah ini dan memutuskan untuk menuntut ilmu di kota yang juga saya cintai Yogyakarta.
Selalu ada rasa yang bercampur aduk ketika saya hendak memasuki kota ini. Seperti hendak menjumpai kekasih, atau berjumpa musuh, percampuran antara perasaan senang yang membuncah, sedih , geram dan lelah, sulit sekali diceritakan.

Perjalan ini saya mulai dari Medan melalui jalan darat menuju Lhokseumawe untuk melepas rindu dengan beberapa teman disana (oleh-oleh dari lhokseumawe akan saya sampaikan pada tulisan lain), belum puas melepas rindu perjalanan saya lanjutkan ke Banda Aceh. Dalam perjalanan sudah tampak beberapa hasil dari proses rekonstruksi, barak-barak yang bisa dijumpai di kiri kanan jalan Banda Aceh menuju Medan, mulai dari Bireun, lalu Pidie dan Aceh Besar mulai berkurang. Sayangnya disisi lain mobil-mobil bantuan dengan tulisan besar-besar juga telah beralih fungsi, misalnya saya melihat mobil bantuan dari keduataan Malaisya telah berubah menjadi angkutan umum antar kota, bahkan mobil perpustakan keliling yang seharusnya memuat buku-buku untuk di baca oleh public telah berganti dengan penumpang dari Bireun yang hendak ke Banda Aceh (tragis dan salah kaprah).

Memasuki kota Banda Aceh (Belum sampai ke kota), sebuah bangunan hotel baru megah berdiri “Grand Nangroe” Hotel, lalu tak jauh dari situ juga berdiri “Oasis” Hotel, mungkin setara dengan bintang 3++, Sedang hotel “Swiss Bell” yang tahun lalu ketika saya pergi dari Banda Aceh masih dalam pembangunan, sekarang sudah megah beridiri. “Wow” saya terkagum-kagum sendiri menyaksikan kota ini berkembang begitu cepatnya. Memasuki kota, sudah ada pizza hut- restoran pizza terpopuler di Indonesia, juga Papa Rons. Banda Aceh seperti tidak pernah mengalami kejadian yang sangat luar biasa yang menyorot perhatian dunia.

Sekelumit rasa senang hadir menyaksikan perkembangan kota ini, selebihnya lebih banyak perasaan khawatir akan perkembanganya dengan cara-cara “instant” layaknya anak-anak bangsa ini yang dipaksa menjadi dewasa dengan konsumsi media yang tidak sehat.

Seorang kawan berbaik hati menampung saya selama di Banda Aceh, rumah mungil bantuan dari salah satu LSM internasional telah berdiri. Rumah dengan dua kamar ruang, ruang tamu dan dapur serta maker mandi ini terkesan dibangun asal-asalan sama seperti rumah BTN saya (he..he). Meskipun coba ditutupi dengan mengecatnya memakai warna yang manis toh tidak cukup menutupi kualitas bangunan secara keseluruhan. Bukan karena saya pernah belajar ilmu bangunan maka saya bisa menilai- “kecelakaan pembangunan” model begini sangat gampang di lihat kasat mata bahkan oleh orang yang tidak pernah belajar ilmu bahan. “ Yah namanya juga bantuan, dikasih juga udah syukur”, begitulah teman saya menyerah pada keadaan. Belum selesai saya mengamati “rumah bantuan” teman saya sudah mengeluh, Sebentar lagi kami harus mengungsi lagi, sudah ada pemberitahuan dari pihak LSM, katanya ada kesalahan teknis pada pemasangan pondasi, rumah ini akan segera di bongkar karena tidak memenuhi spesifikasi dan tidak aman bagi penghuninya. Saya hanya melongo dan geram tidak sanggup berkomentar, kerja macam apa ini. Di bangun, dibongkar, dibangun lagi munujukkan kerja yang amburadul, asal jadi dan tentu saja menghabiskan uang.

Mengunjungi kawan-kawan lainya yang satu tahun lalu masih dibarak-barak pengungsian sudah tersenyum manis di rumah-rumah bantuan menyambut saya dengan cerita-cerita seputar rumah barunya sedikit mengobati rasa geram saya, setidaknya ada tempat berlindung dari panas dan hujan yang lebih layak dari pada barak-barak pengungsian. Tetapi bagaimana pertanggungjawaban pihak pembangun akan kualitas bangunan, apakah bila masyarakat dengan “rela” hati menerima (daripada terus tinggal dibarak) dengan serta merta menghapuskan tanggung jawab profesi yang diembanya? Kepesatan pembangunan disini ternyata tidak diimbangi dengan kepesatan pembangunan mental orang-orang yang terlibat didalamnya, ataukah mereka tidak mampu keluar dari pusaran sistem bobrok yang telah mengakar?

Ah…semakin penat saya memikirkan carut marutnya proses rekonstruksi ini, sebaiknya saya menerima tawaran seorang teman untuk minum kopi di Solong, kedai kopi paling tenar di Banda Aceh sambil mencari informasi-informasi terkni dari diskusi-diskusi ringan bersama teman-teman..

Banda Aceh, 21 Mei 2007