Thursday, January 18, 2007

Saudagar Buku Dari Kabul


-International Best Seller-

Novel Karya : Åsne Seirstad
Penerbit : qanita , Bandung
Tebal : 463 halaman



Sekali lagi saya suguhkan resensi sebuah novel yang mengambil seting Afghanistan. Bagi saya ini adalah sebuah reportase yang “unik” dan “renyah” (saya tidak menemukan bahasa yang tepat untuk mengambarkanya), ditulis oleh seorang wartawan Norwegia yang terlibat dalam cerita-cerita didalam novel ini, akan tetapi dia sendiri berada diluar cerita. Lucu, sedih, menggeramkan disusun selang-seling menambah selera membaca kita. Bukan sekedar drama keluarga ini adalah juga kisah sejarah, kisah tentang rezim-rezim yang berkuasa di sebuah negeri yang tak pernah reda oleh perang, sebuah negeri yang oleh Amerika di bubuhi stempel tebal “sarang terorris”.

Tersebulah sebuah keluarga Afghan di Kabul, Sultan Khan sang kepala keluarga. Dia anak laki-laki pertama dalam keluarganya. Sebagaimana budaya yang berlaku anak laki-laki adalah kebanggan. Jadi meskipun keluarganya miskin, Sultan menyelesaikan pendidikan sebagai Insinyur, sementara saudara-saudara perempuan lainya harus merelakan menjadi buta huruf demi anak laki-laki.

Sultan meskipun seorang Insinyur teknik, dia lebih mencintai buku, kecintaanya akan buku mendorongnya untuk membangun bisnis buku. Ini adalah bisnis tidak lazim bagi negara yang pada saat itu ¾ penduduknya buta huruf. Sultan mempunyai misi yang sangat kuat akan bangkitnya peradaban Afghan melalui kebudayaan dan kesusastraan negerinya.

Beberapa kali koleksi bukunya dibakar oleh rezim yang berbeda-beda, Mula-mula komunis membakar koleksi bukunya, kemudia Mujahiddin menjarah dan merampasnya lalu Taliban membakarnya lagi. Dia harus pula berurusan dengan departemen pembinaan kebajikan dan penghapusan dosa (sebuah departemen dengan nama yang aneh menurut saya) untuk bisnis yang dilakukanya. Rezim Taliban sangat mengharamkan buku-buku yang memuat gambar makhluk hidup – itu adalah perbuatan anti Islam- Sultan di penjara, di intograsi, dan menyaksikan bukunya di bakar oleh tentara yang membaca saja pun tidak bisa. Tetapi dia tidak peduli, berbagai cara dia lakukan untuk menyelamatkan bisnisnya-bukunya dan juga sejarah Afghanistan.

Diluar itu Sultan adalah, lelaki Afghanistan, yang tumbuh dan besar dalam kultur Islam yang kuat. Meskipun dia tidak melakukan kewajiban-kewajiban ibadah Islam secara rutin. Pikiranya yang moderat tidak berlaku bagi keluarganya. Anak-anaknya tidak diperkenankan melanjutkan sekolah karena harus membantunya dalam bisnis bukunya. Para perempuan tinggal dirumah, melayani laki-laki yang seharian bekerja, mengurus anak-anak dan selalu disalahkan apabila ada yang tidak berkenan di hati para lelaki.
Ketika dirasakan istrinya sudah mulai berumur Sultan menikah lagi dengan gadis belia, Seirstad menceritakan dengan ringan proses peminangan Sultan yang “tidak lazim” sampai dengan pesta pernikahan mereka, juga perasaan-perasaan istri pertamanya . Sultan mempunyai dua orang istri dengan empat orang anak dari keduanya dan tingal dalam satu rumah. Dalam keluarga itu juga tinggal ibu dan saudara-saudara perempuan Sultan. Karena dia laki-laki paling tua dan tiada lagi ayahnya maka ia adalah raja dalam keluaganya, perkataanya layaknya hukum dan tidak bisa di bantah.

Ini adalah potret buram kaum perempuan dalam peradaban yang di klaim sebagai peradaban “Islam” oleh para penguasanya. Perempuan tidak mempunyai hak untuk membuat keputusan tentang masa depanya – masa depan adalah pernikahan dengan laki-laki yang sudah menjadi kesepakatan keluarganya. Martabatnya hanya akan terangkat bila mereka menikah dengan laki-laki terhormat dan melahirkan anak laki-laki, selebihnya hidupnya hanyalah melayani kaum lelaki.

Latar belakang lainya yang juga turut mendukung cerita ini adalah perang yang sepertinya tiada pernah usai. Perang dan perang itulah hari-hari Afghanistan, bocah-bocah lebih mengenal Kalashnikov daripada permainan anak-anak seusianya. Negeri yang selalu bergulat dengan kemiskinan dan paska September 11 menjadi musuh Amerika, meski sebagian dari mereka tidak tau sebabnya.

Tulisan saya ini tidaklah cukup untuk menggambarkan semua kisah yang ada dalam novel Seirstad, untuk lebih merangsang anda sekalian membacanya senidiri dan terlibat langsung dalam sebuah petualangan dan kehidupan keluarga Afghanistan. Kegetiran – Kemiskinan – Penindasan terhadap perempuan di sebuah zaman yang serba global ini.

Yogyakarta, 19 Januari 2007