Friday, September 7, 2007

Diantara “Ikhtiar” dan “Mendua”


Semarang 9 Agustus 2007, jam 7 pagi, baru saja kunyalakan Hp. Sebuah pesan singkat masuk dari teman di Jogja mengabarkan sebuah musibah, kost-kost anya kecurian, 3 motor + 6 helm + 1 jaket + 2 set sarung tangan + 1 celana hujan dalam jok motorku, Masya Allah…niat banget malingnya…Aku hanya terduduk lemas belum bisa berfikir apa yang mesti aku lakukan. Orang tuaku hanya terbengong-bengong mendengar beritaku…”kok bisa??” begitulah kira-kira reaksi yang kutangkap dari raut wajahnya.

Beberapa teman kuhubungi untuk sekedar memberi tahu, menghubungi teman polisi dan teman yang punya jaringan dengan preman-preman (katanya di negeri ini untuk urusan barang hilang, preman lebih bisa diandalkan dari pada polisi). Didalam bis menuju kantor aku hanya termangu-mangu, mengingat satu tahun terakhir ini bersama H 4611 CN. Motor itu telah setia menemani hari-hari menuntut ilmu di kota pelajar ini, mengantar teman-teman, belum pernah bocor ban, hanya suka ngadat kalau pagi, karena aki sudah soak dan butuh diganti. H 4611 CN, adalah andalanku untuk memancing teman-teman ke Jogja, ke jogja aja, nanti aku ajak jalan-jalan pake motor, begitulah setiap kali aku menawarkan iming-iming ke teman-teman. Tapi rupanya romansa kisah cintaku dengan H 4611 CN, harus berakhir setragis ini. H4611 di maling…duh gusti…ujiankah ini??

Dalam perjalanan ke jogja, perasaanku sudah sedikit lebih tenang. Buku kecil berjudul “Bertanya Tuhan tentang Rezeki yang sudah beberapa hari ini ku baca cukup mujarab untuk memahami apa yang sedang kualami. “Manusia seringkali mengira bahwa apa-apa yang mereka peroleh adalah semata-mata hasil kerja kerasNya, mereka lupa bahwa itu semua semata-mata dari Allah SWT”. Begitulah salah satu penggalan kalimat dalam buku tersebut..Masya Allah, tidaklah suatu kejadian Engkau ciptakan secara kebetulan, semua berada dalam hitungan dan kendali Nya..aku pun terlelap dalam perjalanan.

Langsung menuju TKP yaitu di asrama putri An-Nur, Jl. Monjali no 177 B, temanku dan beberapa anak asrama lainya sedang berdiskusi mencoba melakukan analisa dari kejadian tadi pagi, nampaknya si Maling memanfaatkan momen gempa yang sempat menggoyang Jogja malam itu. Persoalan mulai mengerucut dengan mengusut kunci siapa yang pernah hilang, tapi tetap buntu. Menurut anggota asrama bahkan induk semang mereka sudah mendatangi “orang pintar” untuk menanyakan siapa pencuri motor-motor anak asuhnya. Kabarnya sudah ada nama yang dicurigai. Katanya si “orang pintar” meminta si ibu untuk menyebutkan nama yang dia curigai, kendi yang ada pada si embah dukun ini akan berputar bila betul dia pencurinya. Nah lho…

Aku dan temanku berdiskusi, intinya ya sudah kita ikhlaskan saja, kehilangan ini bukan karena kesalahan prosedur pengamanan kendaraan, memang lagi sial saja motorku yang numpang parkir di situ ikut diangkut maling. Standar pelaporan kehilangan juga sudah dilakukan, 5 jam teman-teman ditanya-tanyai polisi dengan hasil 1 lembar surat kehilangan. Tapi rasanya kami pun pesimis dengan kinerja aparat kepolisian. Sudahlah…meskipun kesal sama si maling kami mencoba menerima kenyataan ini.

Urusan dengan “Orang Pintar”

Ternyata si induk semang yang merasa terlecehkan karena asramanya tentu akan mendapatkan cap baru sebagai asrama yang tidak aman belum berhenti usahanya. Dengan bujuk rayunya dia mengajak kami menemui orang pintar. KH “A” di Bantul, katanya bisa memperlihatkan muka si pencuri pada kita. Kami yang tidak pernah dan sebetulnya tidak mau berurusan dengan yang begitu-begitu menjadi susah hati dan merasa tidak enak untuk menolak. Kami khawatir si ibu tersinggung karena tawaran baiknya di tolak.

Meluncurlah kami ber 5, si ibu ditemani keponakanya, aku dan temanku, serta salah satu anak kost yang juga menjadi korban pencurian. Kami mencoba bergurau, kami semua mahasiswa, yang sering kali berhubungan dan berurusan dengan “orang-orang pintar” di kampus. Mulai dari para sarjana, para master, doctor dan professor, tapi bukan untuk urusan motor hilang tentunya. Apa kata dunia???

Singkat cerita sampailah kami di rumah si “orang pintar” dimaksud, sebuah rumah besar yang sekaligus dijadikan bengkel kerja las. Terasnya sengaja di buat agak luas untuk menampung tamu-tamu. Tuan rumah kiranya menyukai hewan langka, tampak di halaman berlenggak-lenggok dengan cantik kakaktua hitam dan putih, ada juga burung beo dalam sangkar. “Tamu harap menulis di buku tamu dan mengantri” sebuah papan kecil dipasang situan rumah di terasnya. Kami menunggu beberapa lama, tamu-tamu semakin banyak berdatangan, tapi sang “kyai” belum juga Nampak batang hidungnya. Rupanya karena hari jumat jam istirahat “kyai” jadi lebih panjang he..he..

Sang Kyai, umurnya sekitar 50 tahun, bertubuh besar, mukanya bulat lucu, memakai kaus berkerah dan sarung putih, kopiah putih melekat di kepalanya. Saat dia datang kami semua disuruh masuk ke dalam ruanganya, lebih tepatnya ruang kerja sang kyai, rupanya sang kyai akan memberi service secara masal. Sekitar 15 – 20 orang terdiri dari beberapa rombongan memasuki ruangan 3 x 6 m dengan sekat tirai menghubungkan dengan ruangan di sebelahya. Sebuah sofa yang sudah agak kusam berfungsi sebagai singgasana sang kyai, meja tamu didepanya di penuhi berbagai benda kecil, bekas-bekas amplop yang telah di buka bertumpuk disalah satu sudut meja, satu botol besar minumam mineral, satu buah toples berisi kacang telur dan berbagai benda kecil lainya yang tidak sempat terekam olehku, yang jelas mejanya tampak acak-acakan. Disebelahnya ada meja yang agak lebih tinggi, beberapa musaf al-Quran ditumpuk seadanya. Aku sengaja duduk di depan ingin mengetahui “atraksi” sang kyai dalam memberi nasehat kepada manusia-manusia yang datang dengan muka penuh pengharapan (kecuali kami ber 3, aku, Gita dan Helen) yang terpaksa harus berurusan dengan dunia perklenikan di Jogja, sedang induk semang teman-temanku ini mukanya tegang seperti KTP yang baru saja dilaminating. Disamping kanan sang kyai disediakan 2 kursi kayu bagi orang-orang yang berurusan denganya, selebihnya kami duduk di bawah meyaksikan sang actor berlaga. Klien pertama di panggil, ke depan, pasangan muda tampaknya.

“Opo masalahmu?” (apa masalahmu-red) atraksi dimulai…”anu kyai…saya mau jual tanah, biar cepat laku”….”mmmmm..tanahmu yang dimana?”(sambil memejamkan mata) sok tau sekali si Kyai ini pikirku, seperti tau saja kalau si klien punya banyak tanah. “Anu kyai, tanah yang di Depok” lanjut si wanita muda tadi. Sang Kyai berdiri menuju ruang di seblah yang tersekat oleh tirai hijau, beberapa detik kembali dengan gelas yang diisi beras, Kyai menggumam tidak jelas dia mengambil sejumput beras dikunyahnya. Atraksi diselingi dengan banyolan-banyolan dan celoteh si dukun, kadang memarahi klien, kadang melucu, aku seperti menyaksikan pertunjukan sulap di acara ulang tahun anak-anak. Sang kyai meletakan remahan beras yang dikunyahnya kedalam tanganya..dia berdoa lagi- aku berharap-harap cemas menanti apa yang akan terjadi, sang kyai meminta si klien membuka tanganya dan menerima sesuatu dari sang kyai, bukan sulap bukan sihir kawan…beras tadi berubah menjadi sesuatu (aku tidak bisa melihatnya dengan jelas) sepertinya biji-bijian berwarna hijau, “tanam di setiap sudut” begitu perintahnya. “Sudah pergi sana..” usir sang kyai pada klienya, si ibu muda ini belum juga beranjak…”Opo maneh???” sang kyai gusar “Anu kyai…..saya pengen punya anak” keluh ibu muda memelas, suaminya menatap sang kyai menghiba. Kembali sang kyai membuat banyolan-banyolan konyol dan fulgar..sungguh sangat jauh dari kesan alim, shaleh tawadhu seperti bayangku.

“yang nggak bisa kamu apa suamimu”, Tanya sang kyai…aku hampir tersedak mendengar pertanyaan yang sangat pribadi terlontar di depan bayak orang oleh “seorang pintar” …langsung menguap respect ku pada sang tokoh, tapi si ibu muda tadi masih takzim mengikuti instruksi sang dukun, meski jelas harga dirinya tersungkur dihadapan kami semua…namanya juga ikhtiar..mungkin seperti itulah jeritan hatinya.

Hari ini aku belajar dunia lain yang mau tidak mau aku harus pahami. Orang berdatangan mulai dari urusan bisnis yang kurang maju, jodoh yang tak kunjung datang, barang hilang, penyakit yang tak kunjung sembuh dengan muka-muka pengharapan kepada sang kyai konyol ini. Bagaimana mungkin??? Bagaimana mungkin masalah-masalah tersebut diselesaikan oleh sulap dan pertunjukan debus disertai banyolan ala tukul arwana yang fulgar. Aku membayangkan seandainya yang datang adalah para pejabat negara, anggota dewan yang terhormat, para mentri yang mengajukan masalah-masalah negara yang rumit…Ohhh…apa kata dunia???

Tiba giliran kami di layani, yang jelas aku tidak mau berurusan dan di permalukan oleh sang kyai didepan para pencari solusi melalui jalan pintas ini. Si induk semang dan teman yang juga kehilangan motornya yang menjadi korban sulap sang dukun, dengan mantra-mantra yang di ucapnya bukan sulap bukan sihir temanku diminta melihat kedalam sebuah gelas berisi air dan diminta membaca keras-keras apa yang dilihatnya….ragu-ragu si Helen membaca..”jalan…mangkoyudan..”.. lebih keras perintah sang kyai sedikit membentak Helen pun serta merta membacanya dengan keras. Atraksi belum selesai, rupanya si Induk semang yang khawatir rumah asramanya hilang pamor meminta perlindungan sang dukun,agar rumah kostnya menjadi aman seperti sedia kala. Seperti atraksi sebelumnya, setelah japa mantra diucapkan tiba-tiba muncul sebuah benda ditanganya…tanam di depan rumah perintah sang kyai.

Duh Gusti….ampuni hamba….

Lega rasanya meninggalkan rumah sang kyai…sebuah pelajaran yang sangat berharga ku dapat, sebuah fenomena yang nyata ada ditengah masyarakat kita. Paranormal, perdukunan, praktek klenik di balik kedok Islam sebuah agama mayoritas dinegeri ini menjadi pilihan instan bagi pencari masalah-masalah keseharian. Anda tidak perlu susah-susah belajar teori-teori bisnis, cukup datang ke kyiai “Anu”, si mbah “itu”. Aku bertanya kemana semua Dai lulusan Universitas Islam ternama yang menyeru untuk selalu meluruskan aqidah? apakah ilmu “sulap” sang kyai lebih mudah dipahami daripada pemahaman keimanan yang sangat abstrak?

Akhirnya tampaknya perlu kita renungkan, apa yang dimaksud dengan ikhtiar, karena seringkali kita memakai alasan “ikhtiar” ketika kita meyakini perklenikan. Batas antara ikhtiar dan keimanan pada yang ghaib bersinggungan dan menjadi kabur oleh “keyakinan-keyakinan” lain yang muncul, yakin bahwa sang Kyai dapat memberikan keamanan pada rumah kita, yakin bahwa sang kyai dapat melancarkan bisnis kita, mendatangkan jodoh kita, dan lain-lain. Bahkan seandainya Mr. Bush datang ke Kyai-Kyai perklenikan di Indonesia dia tidak perlu repot-repot menghancurkan Afghanistan hanya untuk mencari seorang Osama bin Laden he..he. Betapa tipis batas antara Ikhtiar dan “menduakan Tuhan”, Bukankah demikian kawan?

Saya tulis reportase ini hanya sebagai bahan renungan, bagi diri saya sendiri, bagi teman-teman yang saya sayangi. Terkadang sangat sulit untuk menjadi ikhlas mencapai tahapan tertinggi yang menguji setiap fase keimanan seseorang. Sangat ringan diucapkan tetapi sungguh sangat sulit untuk membuktikanya, terutama membuktikanya langsung kepada sang Khalik yang mengetahui setitik pun apa-apa yang ada di hati manusia.

Akhirnya, sekedar untuk mengingatkan

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."(QS: 2: 286)

Semarang: 11 Agustus 2004

Teruntuk sahabatku Gita, mudah-mudahan kita diberi kelapangan rezeki dan dimudahkan langkahmu ke tanah suci :-)

Friday, July 20, 2007

Perempuan di Persimpangan


Perempuan dalam wacana media: melihat gender discourse pada novel “Samira dan Samir”

Dunia sastra telah menjadi salah satu media bagi perempuan untuk menggugat ketidak adilan sekaligus memperjuangkan kesetaraan. Baik puisi, essay, memoar ataupun novel-novel yang ditulis oleh para penulis perempuan telah berani membongkar hal-hal yang tadinya dianggap “tabu” diungkap. Karya-karya mereka pada zamanya, selain mempengaruhi dunia sastra secara umum juga menandai perkembangan pemikiran masyarakat tentang kesetaraan dan relasi laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Begitu banyak pengarang perempuan bermunculan dalam beberapa tahun terakhir, dan banyak dari mereka mendapatkan sambutan luar biasa baik dari penjualan, respon media dan penghargaan sastra (Bandel: 2006). Di Indonesia sebenarnya sastra yang mengungkap bentuk-bentuk ketidak adilan terhadap perempuan sejak zaman pujangga baru hingga kini tetap berkembang baik yang ditulis oleh laki-laki atau perempuan sendiri.

Novel Samira dan Samir ditulis oleh Siba Shakib seorang perempuan Iran yang dibesarkan di Jerman. Di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Ully Tauhida dan diterbitkan oleh Alvabet Bandung. Novel ini memuat perdebatan wacana-wacana jender sehingga menjadi menarik untuk di bedah lebih lanjut daripada sekedar menikmantinya hanya sebagai sebuah karya sastra. Novel ini mencoba menghadirkan bagaimana masyarakat mengkonstrusikan “laki-laki” dan “perempuan” dan apa yang terjadi jika seorang yang terlahir sebagai perempuan dikonstruksikan sebagai laki-laki.
Dengan mengambil setting di Afghanistan novel ini mencoba menyingkap bagaimana perempuan tertindaskan oleh hegemoni definisi laki-laki dan perempuan pada masyarakat pegunungan Hindu Kush pada saat itu. Dunia yang di bangun bahwa laki-laki lah yang punya hak untuk merdeka dan berhak mengambil kemerdekaan perempuan, dan bagaimana maskulinitas dan feminitas pada akhirnya menjadi sesuatu yang harus dipaksa untuk diputuskan secara “hitam putih” dalam pencarian identitas diri. Selain itu kisah ini juga menggambarkan pergulatan pencarian identitas ditengah konstruksi sosial yang telah terbangun atas diri seseorang.

Perempuan: Dimuliakan sekaligus dihinakan

“Ibuku bilang, laki-laki menghormati istrinya hanya selama mereka mampu melahirkan anak laki-laki bagi suaminya” (hal 6)

Penggalan kalimat diatas diucapkan oleh Daria istri kepala suku di pegunungan Hindu Kush yang menjadi salah satu tokoh dalam novel ini, meskipun jaman jahiliah sudah berlalu berabad-abad, akan tetapi nilai-nilai yang di yakini bahwa laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih mulia masih tetap mengakar. Bahkan perempuan (Ibu) sangat berperan untuk terus menerus mereproduksi nilai-nilai patriaki ini pada anak-anaknya. “Ibu” dalam Islam yang menjadi setting budaya novel ini, adalah sosok yang agung, akan tetapi “ibu” jualah yang ternyata membangun nilai-nilai dimana “kehormatan” seseorang ditentukan oleh jenis kelamin anak yang di lahirkan oleh istrinya. Disinilah konstruksi perempuan sebagai subordinat mulai dibangun. Di dalam beberapa kebudayaan nilai-nilai ambigu di mana perempuan sebagai sosok yang diagungkan menurut teks-teks suci sekaligus dihinakan tetap di pertahankan. Pertentangan pandangan antara adat dan ajaran suci menurut Zainal Al Ma’adi lebih disebabkan adanya kegagalan memahami ide-ide umum teks-teks suci dan terpaku pada ide-ide ad hock nya sehingga pesan-pesan dasar dari teks suci tidak dapat di pahami karena interprtasinya hanya terpaku pada makna lahiriah sebuah kebahasaan teks (Gandhi:2006).
Maka ketika Daira ternyata melahirkan seorang bayi perempuan, itu adalah kehinaan bagi suaminya sang kepala suku meskipun lahir dari seorang “ibu” yang di muliakan. Kehormatan sebagai kepala suku telah dihancurkan dengan kelahiran seorang bayi perempuan, toh pada akhirnya sisi kemanusiaan dalam dirinya tidak sampai hati untuk menghilangkan nyawa bayi perempuanya.

“Kita akan memberikan nama “Samira”, kita panggil dia “Samir”, maka masyarakat akan beranggapan kau telah memberikan seorang putra” (hal 28)
Begitulah pada akhirnya sebuah keputusan diambil oleh sang ayah yang tidak mau kehilangan kehormatanya sekaligus tidak mau kehilangan anaknya. Keluarga dan orang tua adalah orang pertama yang membangun apakah seorang anak akan tumbuh menjadi laki-laki atau perempuan. Disinilah cerita ini menampilkan implementasi dari teori feminis liberal gelombang pertama yang percaya bahwa gender adalah produk budaya sosial dan bukanlah suatu yang dibawa dari lahir. Pemikiran inilah yang berkembang pada abad ke 18, misalnya pemikiran Wollstonecraft meskipun pada saat itu dia tidak menggunakan istilah “peran gender yang dikonstruksikan secara sosial”, Wollstonecraft menyangkal perempuan secara alamiah membawa sifat-sifat seperti keibuan, kelembutan, emosional, baginya sifat-sifat tersebut dibentuk oleh masyarakat, dia berargumentasi apabila laki-laki disimpan dalam sangkar yang sama sebagaimana perempuan maka maka laki-laki pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan (Tong:2005). Feminist liberal percaya bahwa identitas gender semata-mata adalah produk sosialisasi yang dapat diubah jika masyarakat menginginkanya. Dalam beberapa aliran paham feminisme, memang ada asumsi yang melandasi teorinya bahwa tidak ada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki selain menyusui, menstruasi dan melahirkan.
Inilah yang terjadi pada “Samira” yang menjadi “Samir”, ayahnya satu-satunya orang yang mengetahui kelahiran dirinya selain ibunya sendiri telah telah menetapkan dirinya sebagai laki-laki dan secara tidak langsung membunuh “kodrat” kewanitaan yang dibawanya saat ia dilahirkan. Karena dikondisikan sebagai “Samir”, setiap fase perkembangan Samira kecil yang membawa feminitas sebagai bagian dari perkembangan dalam pertumbuhan perempuan ditolak. Misalnya diceritakan dalam novel ini, ayah Samir mengajarkan berburu ikan dan membunuhnya, Samir kecil menolak karena baginya ikan yang menari lebih indah dari ikan yang mati. Secara tidak langsung digambarkan jiwa Samir yang menolak sifat “keras dan pemberani” sebagaimana maskulinitas dikonstruksikan, tetapi ketika dengan kelembutan, ibunya memintanya membunuh ikan-ikan tersebut Samir justru dapat memahami mengapa dia harus membunuh ikan-ikan tersebut sebagai kebutuhan hidup dan keberlangsungan hidupnya sebagai manusia. Dapat dilihat bahwa “kelembutan” seorang ibu justru menjadi alat yang kuat dalam konstruksi maskulinitas pada seorang gadis kecil. Disinilah konflik dalam diri Samir pada proses pertumbuhan dimunculkan. Feminis liberal boleh saja menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin (biologis) dan sifat, tetapi ilustrasi diatas menawarkan dua asumsi; yang pertama bahwa wanita dapat mempuyai kapasitas atau kemampuan yang sama dengan pria dalam melakukan pekerjaan, bahkan dalam merasionalisasikan tindakan. Kapasitas ini dapat menyangkut kemampuan, kepandaian dan ketahanan fisik. Asumsi kedua adalah, perempuan karena pengaruh biologisnya tidak mempunyai keinginan, aspirasi atau ambisi yang sama dengan laki-laki. Kedua asumsi ini dapat dipakai untuk membedakan kemampuan dasar manusia, yaitu yang bersifat universal, dan yang bersifat spesifik. Kemampuan universal adalah kemampuan dimana laki-laki dan perempuan mempunyai kapasitas dan potensi yang sama, sedangkan kemampuan spesifik adalah kemampuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan karena adanya perbedaan bilogis (Megawangi:1999).

Nature Vs Nurture

Sampai pada saatnya ketika Samir yang Samira mengetahui bahwa secara biologis dia berbeda dengan anak laki-laki lainya, tetapi secara sosial dia harus menjaga “kehormatan” orang tuanya. Demi kehormatan dan kebahagiaan orangtua dalam dunia sosialnya, Samira memutuskan untuk tetap menjadi Samir. Disinilah diceritakan bagaimana krisis dalam diri Samira terjadi. Sebagai Samir seorang putra kepala suku dia mendapatkan penghormatan dari masyarakatnya, mendapatkan kebebasan untuk tidak melakukan “tugas-tugas perempuan”, muncul protes dalam dirinya atas ketidak adilan yang diterima ibunya, dan perempuan-perempuan lainya dalam kisah tersebut. Cerita ini menunjukkan apa yang diyakini feminis marxis bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial dan ekonomi tempat individu hidup. Seperti Marxis pada umumnya, feminis Marxis mempercayai bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran. Anggapan bahwa “pekerjaan perempuan tidak pernah ada habisnya” bagi feminis Marxis adalah lebih dari sekedar aforisme. Anggapan tersebut merupakan gambaran dari sifat pekerjaan perempuan. Dengan selalu siap bertugas seorang perempuan membentuk konsepsi dirinya yang tidak akan dimilikinya jika peranya di dalam keluarga tidak menahanya untuk tetap sub ordinat terhadap laki-laki baik secara sosial maupun ekonomi. Menurut Tong, feminis Marxis percaya bahwa untuk memahami mengapa perempuan teropresi sementara laki-laki tidak kita perlu melihat hubungan antara status perempuan dan citra diri perempuan (Tong: 2005: 141). Bagi feminis Marxis pekerjaan perempuan membentuk pemikiran perempuan dan karenanya membentuk “sifat-sifat alamiah” perempuan. Pembagian kerja berdasarkan sex atau dua tigkat pembagian kerja berdasarkan sex menunjukkan bahwa patriaki atau supremasi laki-laki muncul sehingga para feminis mengkonsepsikan patriaki sebagai masalah struktural bagi perempuan (Agger:2003: 200).
Sebagai “Samir”, Samira menyaksikan ketidakadilan berlaku bagi perempuan dimana pada masyarakatnya dianggap sebagai suatu kelaziman. Dalam analisis feminis Marxis inilah yang disebut sebagai kesadaran kelas. Analisa Marxis mengenai kelas, telah menyediakan bagi para feminis beberapa alat konseptual yang diperlukan untuk memahami opresi perempuan. Kesadaran kelas jelas merupakan lawan dari kesadaran semu, suatu keadaan pikiran yang menghambat penciptaan dan kelangsungan kesatuan suatu kelas sejati. Kesadaran kelas menyebabkan orang-orang yang tereksploitasi untuk percaya bahwa mereka bebas untuk bertindak dan berbicara sama seperti orang-orang yang mengeksploitasinya (Tong: 2005:144).
Ratna Megawangi dalam bukunya Membiarkan berbeda menyebutkan , bahwasanya ada dua argumentasi yang saling bertentangan mengenai pembentukan sifat maskulin dan feminin pada laki-laki dan perempuan. Argumentasi pertama mempercayai bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminine berhubungan dengan perbedaan bilogis (sex) pria dan wanita. Perbedaan biologis pria dan wanita adalah alami karenanya sifat stereotip gender sulit untuk diubah, argumen ini sering disebut sebagai mazhab esensial biologis. Argumentasi kedua meyakini bahwa pembentukan sifat maskulin dan feminin bukan disebabkan oleh adanya perbedaan bilogis antara laki-laki dan perempuan, tetapi lebih karena sosialisasi atau kulturasi. Aliran ini tidak mengakui adanya sifat alami maskulin dan feminin (nature), tetapi yang ada adalah sifat tersebut dikonstruksikan oleh budaya melalui proses sosialisasi (nurture). Argumen ini membedakan antara sex yang merupakan konsep nature dan gender yang merupakan konsep nurture. Pandangan seperti ini lebih dikenal sebagai mazhab orientasi kultur (Megawangi : 1999:94-95)
Ketika sebagai seorang anak yang sedang tubuh Samira mengalami perubahan fisik dan mengalami kebingungan, apakah dia ingin menjadi perempuan atau laki-laki, Daria sang ibu menawarkanya untuk membandingkan keadaan laki-laki dan perempuan dan menyerahkan keputusan ini pada Samir.
“Keputusanya mudah saja, kata sang ibunda. Pergilah keluar dan amati kehidupan yang kau jalani bersama lelaki lalu lihatlah aku dan perhatikan kehidupan yang aku dan kaum wanita lain jalani” (hal 188)Kisah ini menampilkan bahwa menjadi laki-laki atau perempuan adalah pilihan. Tetapi meskipun pilihan tersebut mutlak berada pada individu, pilihan harus dijatuhkan hitam-putih, sebagaimana lingkungan sosial menginginkanya demikian, menjadi lelaki (dengan membawa sifat-sifat maskulin) atau menjadi perempuan (dengan membawa sifat-sifat feminine) termasuk konsekwensi pekerjaan dan fasilitas dari pilihan tersebut.
Semakin bertambah dewasa Samira, semakin komplekslah pergulatan konsep nature vs nurture pada dirinya. Apalagi ketika dalam cerita tersebut dikisahkan Samira sebagai seorang gadis jatuh cinta kepada seorang laki-laki tetapi juga dibingungkan apakah dia harus “ berhasrat” pada laki-laki atau perempuan, sedang lingkungan sosialnya terlanjur melihatnya sebagai laki-laki sejati. Samira juga diperlihatkan bagaimana perempuan-perempuan dilingkunganya ketika menjadi istri semakin kehilangan kemerdekaan-kemerdakan yang memang sudah terbatas sebelumnya. Bagaimana perempuan-perempuan tidak mempunyai kekuatan ketika suaminya memutuskan untuk menikah lagi sebagai legitimasi atas kehinaan perempuan yang tidak dapat melahirkan keturunan dan mempertahankan kehormatanya sebagai laki-laki. Tetapi pada saat bersamaan Samira tidak dapat menolak hasrat pada diriniya bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada laki-laki sebagai sifat bawaan dari keadaan biologisnya. Lebih parah lagi ketika dia mau tidak mau sebagai “laki-laki sejati” harus menikah dengan putri kepala suku lainya.
Terlihat bahwa wacana pergulatan pemikiran-pemikiran feminis modern muncul. Feminisme berada pada persimpangan modernitas dan posmodernitas. Perdebatan yang mengantrakan feminisme menghadapi kritik dari dalam dan luar wacananya sendiri. Marshal misalnya, melihat kegagalan teori-teori modernitas bagi feminisme adalah ketidakmampuanya memahami “perbedaan” secara memadai. Baik sebagai politik emansipasi maupun sebagai tubuh, teori kritis dan politik feminisme terus menggunakan retorika egalitarian sebagai dasar sebagian besar tuntutan politiknya. Feminisme berdampingan dengan modernitas atas dasar keberakaranya didalam ruang terbuka lebar oleh wacana hak. Marshal juga mencatat bahwa pada saat yang bersamaan komitmen feminisme pada “perbedaan” dan keanekaragaman serta pendirian skeptisnya terhadap nalar membangkitkan posmodern. Lalu munculah apa yang dikatakan Marshal sebagai peningkatan keragu-raguan atas premis teori Marxis ortodoks bahwa identitas individu, kesadaran dan esensi makhluk sosial berasal dari pososi seseorang didalam pembagian kerja secara sosial (Brooks: 2005: 20– 21).
Kembali Menjadi Diri Sendiri
Suatu saat Samira memperoleh kesempatan untuk membunuh “Samir” dalam dirinya disaat dia telah menemukan laki-laki yang dicintainya yang kiranya menurut Samira tidaklah mungkin akan melakukan ketidakadilan terhadap dirinya. Kembali Samira dihadapkan pada masalah klasik budaya masyarakat, konstruksi masyarakat tentang laki-laki dan perempuan, tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperilaku didalam lingkungan sosialnya. Suami yang menurutnya dapat memberikan keadilan dan perlakuan sebagaimana ketika dia menjadi “Samir” tetaplah tidak mampu melawan lingkungan sosial yang telah terbangun dan mempengaruhi perilaku individu. Samira tetap tidak mendapatkan kebebasan sebagaimana ketika dia sebagai Samir.
Disinilah kisah ini memasuki wacana subjektifitas dan identitas. Subjektifitas dan identitas didalam pembentukan teori feminis erat berhubungan dengan epistimologi dalam analisis teoritis feminis dan hubungan antara pengetahuan feminis dan pengalaman perempuan. Sandra Harding mencoba menelaah jenis-jenis subjek atau agen sejarah dan pengetahuan serta proyek yang dihasilkan serta logika teori pendirian (standpoint theory). Harding mencirikan hal ini sebagai “menemukan diri kita sebagai yang lain (other)”, selanjutnya dia menanyakan apakah benar hanya mereka yang tertindas yang dapat memperoleh pengetahuan penindasan, dan apakah pemahaman penindasan hanya dapat muncul dari pengalaman penindasan (Brooks : 2005:28). Sebagaimana persimpangan feminisme dengan modernisme yang menyediakan alat konseptual dalam memahami opresi terhadap perempuan, persimpangan feminisme dengan posmodernisme telah menyediakan feminisme suatu kerangka kritik, wacana, dekonstruksi dan perbedaan yang telah digunakan untuk menentang dan melihat kembali asumsi-asumsi tradisional mengenai identitas dan subyektifitas (Brooks : 2005:28).
Weedon menelaah lebih jauh, menurutnya konsep wacana postrukturalis sangat penting bagi feminisme. Dengan memakai kacamata Foucault yang menyoroti sifat dasar kuasa yang mempunyai banyak sisi, Weedon berpendapat bahwa feminisme harus menyelidiki “situs-situs” diskursif kuasa laki-laki sebagaimana diartikulasikan dan dilegitimasi dalam struktur institusional dari kuasa dan bentuk pengetahuan. Bagi Weedon usaha untuk mendefinisikan kembali kebenaran tentang sifat dasar perempuan didalam istilah-istilah relasi sosial yang sedang berlangsung, sebagaimana usaha feminisme liberal untuk membangun kesetaraan dengan laki-laki, ataupun juga penekanan feminis radikal pada perbedaan mutlak yang diekspresikan sebagai separatisme, keduanya tidak memadai secara politis. Disini postrukturalisme membangun pengalaman sebagai sesuatu yang kontradiktif dan identitas sebagai sesuatu yang plural (Brooks: 2005).

Melampaui Feminisme dan Maskulinisme

“Samira” yang “Samir” ataupun “Samir” yang “Samira” keduanya mengalami penindasan dan ketidakadilan, baik ketika dia konstruksikan sebagai laki-laki maupun ketika dia memilih untuk menjadi perempuan. Pergulatan pemikiran feminis liberal yang percaya bahwa fiminitas dan maskulinitas adalah produk budaya berdialektika dengan aliran esensial biologis telah membuka wacana-wacana baru. Tawney sebagaimana dikutip oleh Megawangi mencoba menawarkan kesetaraan kontekstual dalam mencapai keadilan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Konsep ini tidak serta merta memberikan perlakuan yang sama melainkan memberikan perhatian yang sama kepada seluruh manusia yang mempunyai kebutuhan berbeda. Tawney mengakui adanya keragaman pada manusia baik biologis, aspirasi, kebutuhan dan kemampuanya. Sebagimana Vandana Shiva, seorang tokoh feminis yang juga menawarkan kesetaraan kontekstual yang menghormati keragaman individu. Menurut Shiva diferensiasi peran tradisional laki-laki dan perempuan harus dilhat sebagai peran yang berbeda bukan sebagai peran yang tidak setara. Keduanya berperan sama penting meskipun aktvitasnya berbeda (Megawangi: 1999:225). Wacana yang menghadapkan laki-laki dan perempuan dalam oposisi biner sebagai yang lebih tinggi dan lebih rendah, pencari nafkah dan pengatur rumah tangga, public dan domestic, rasional dan emosional adalah opresi yang menimpa baik laki-laki dan perempuan. Ideologi patriaki memaksa laki-laki menjadi bersifat opresif, mewajibkan untuk selalu lebih dan berpotensi dari perempuan, kenyataanya laki-laki juga adalah kelompok manusia yang beragam (Prabasmoro: 2006)
Meski tidak menelaah secara keseluruhan baik dari cerita maupun pemikiran-pemikiran feminis, tulisan ini mencoba melihat perbincangan pemikiran-pemikiran feminis dalam sebuah karya sastra. Cerita-cerita yang disajikan dalam novel meskipun fiktif memiliki kedekatan dengan keseharian kita, sehingga ilustrasi-ilustrasi yang dipaparkan dapat kita lihat dengan berbagai perspektif yang dikembangkan oleh para teoritisi feminis.
Feminisme bukanlah wacana yang tunggal dan terlepas dari wacana lain. Pergulatan pemikiran feminisme berkembang dan selalu bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran yang biasa disebut “dead male theorist” atau teori-teori besar yang sedang berkembang. Misalnya bagaimana feminisme menjawab modernitas, feminisme beririsan dengan posmodernisme dan postrukturalis, juga pengaruh pemikiran-pemikiran feminisme pada poskolonial. Sebagaimana ilmu sosial yang selalu bergerak mengikuti pergerakan zaman, demikian juga wacana feminisme. Memiliki perspektif feminis menjadikan kita mempunyai kesadaran akan persoalan-persoalan ketidakseimbangan sebagai persoalan yang saling berkait. Feminisme menjadi lebih lengkap justru ketika feminisme tidak dapat melekpaskan diri dari cara pandang berbagai aliran feminisme yang lain (Prabasmoro: 2006: 47).

Bahan Bacaan
Agger, Ben. 2003, Teori Sosial Kritis, Yogyakarta : Kreasi Wacana
Arivia, Gadis. 2003, Filsafat Berprespektif Feminis, Jakarta: YJP
Bandel, Katrin. 2006, Sastra, Perempuan, Sex, Yogyakarta : Jalasutra
Brooks, Ann. 2005, Posfeminisme dan Cultural Study, Yogyakarta: Jalasutra
Gandhi, Laela.2006, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Yogyakarta: Qalam
Megawangi, Ratna.1999, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Jender, Bandung: Mizan
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006, Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop, Yogyakarta: Jalasutra
Shakib, Siba. 2006, Samira dan Samir, Jakarta: Alvabet
Tong, Rosemarie. 2005, Feminist Tought, Yogyakarta: Jalasutra

Tuesday, June 5, 2007

Sedikit melongok hasil dari proses Rekonstruksi


(Sebuah oleh-oleh dari Banda Aceh)

Untuk kesekian kalinya, dengan alasan “tertentu” saya kembali ke Banda Aceh. Kota yang konon saya cintai. Kira-kira sudah hampir satu tahun ketika saya memutuskan untuk berhenti bekerja di kota serambi Mekah ini dan memutuskan untuk menuntut ilmu di kota yang juga saya cintai Yogyakarta.
Selalu ada rasa yang bercampur aduk ketika saya hendak memasuki kota ini. Seperti hendak menjumpai kekasih, atau berjumpa musuh, percampuran antara perasaan senang yang membuncah, sedih , geram dan lelah, sulit sekali diceritakan.

Perjalan ini saya mulai dari Medan melalui jalan darat menuju Lhokseumawe untuk melepas rindu dengan beberapa teman disana (oleh-oleh dari lhokseumawe akan saya sampaikan pada tulisan lain), belum puas melepas rindu perjalanan saya lanjutkan ke Banda Aceh. Dalam perjalanan sudah tampak beberapa hasil dari proses rekonstruksi, barak-barak yang bisa dijumpai di kiri kanan jalan Banda Aceh menuju Medan, mulai dari Bireun, lalu Pidie dan Aceh Besar mulai berkurang. Sayangnya disisi lain mobil-mobil bantuan dengan tulisan besar-besar juga telah beralih fungsi, misalnya saya melihat mobil bantuan dari keduataan Malaisya telah berubah menjadi angkutan umum antar kota, bahkan mobil perpustakan keliling yang seharusnya memuat buku-buku untuk di baca oleh public telah berganti dengan penumpang dari Bireun yang hendak ke Banda Aceh (tragis dan salah kaprah).

Memasuki kota Banda Aceh (Belum sampai ke kota), sebuah bangunan hotel baru megah berdiri “Grand Nangroe” Hotel, lalu tak jauh dari situ juga berdiri “Oasis” Hotel, mungkin setara dengan bintang 3++, Sedang hotel “Swiss Bell” yang tahun lalu ketika saya pergi dari Banda Aceh masih dalam pembangunan, sekarang sudah megah beridiri. “Wow” saya terkagum-kagum sendiri menyaksikan kota ini berkembang begitu cepatnya. Memasuki kota, sudah ada pizza hut- restoran pizza terpopuler di Indonesia, juga Papa Rons. Banda Aceh seperti tidak pernah mengalami kejadian yang sangat luar biasa yang menyorot perhatian dunia.

Sekelumit rasa senang hadir menyaksikan perkembangan kota ini, selebihnya lebih banyak perasaan khawatir akan perkembanganya dengan cara-cara “instant” layaknya anak-anak bangsa ini yang dipaksa menjadi dewasa dengan konsumsi media yang tidak sehat.

Seorang kawan berbaik hati menampung saya selama di Banda Aceh, rumah mungil bantuan dari salah satu LSM internasional telah berdiri. Rumah dengan dua kamar ruang, ruang tamu dan dapur serta maker mandi ini terkesan dibangun asal-asalan sama seperti rumah BTN saya (he..he). Meskipun coba ditutupi dengan mengecatnya memakai warna yang manis toh tidak cukup menutupi kualitas bangunan secara keseluruhan. Bukan karena saya pernah belajar ilmu bangunan maka saya bisa menilai- “kecelakaan pembangunan” model begini sangat gampang di lihat kasat mata bahkan oleh orang yang tidak pernah belajar ilmu bahan. “ Yah namanya juga bantuan, dikasih juga udah syukur”, begitulah teman saya menyerah pada keadaan. Belum selesai saya mengamati “rumah bantuan” teman saya sudah mengeluh, Sebentar lagi kami harus mengungsi lagi, sudah ada pemberitahuan dari pihak LSM, katanya ada kesalahan teknis pada pemasangan pondasi, rumah ini akan segera di bongkar karena tidak memenuhi spesifikasi dan tidak aman bagi penghuninya. Saya hanya melongo dan geram tidak sanggup berkomentar, kerja macam apa ini. Di bangun, dibongkar, dibangun lagi munujukkan kerja yang amburadul, asal jadi dan tentu saja menghabiskan uang.

Mengunjungi kawan-kawan lainya yang satu tahun lalu masih dibarak-barak pengungsian sudah tersenyum manis di rumah-rumah bantuan menyambut saya dengan cerita-cerita seputar rumah barunya sedikit mengobati rasa geram saya, setidaknya ada tempat berlindung dari panas dan hujan yang lebih layak dari pada barak-barak pengungsian. Tetapi bagaimana pertanggungjawaban pihak pembangun akan kualitas bangunan, apakah bila masyarakat dengan “rela” hati menerima (daripada terus tinggal dibarak) dengan serta merta menghapuskan tanggung jawab profesi yang diembanya? Kepesatan pembangunan disini ternyata tidak diimbangi dengan kepesatan pembangunan mental orang-orang yang terlibat didalamnya, ataukah mereka tidak mampu keluar dari pusaran sistem bobrok yang telah mengakar?

Ah…semakin penat saya memikirkan carut marutnya proses rekonstruksi ini, sebaiknya saya menerima tawaran seorang teman untuk minum kopi di Solong, kedai kopi paling tenar di Banda Aceh sambil mencari informasi-informasi terkni dari diskusi-diskusi ringan bersama teman-teman..

Banda Aceh, 21 Mei 2007







Tuesday, May 1, 2007

ITACHA


persembahan untuk yang sedang melakukan "perjalanan"

Ketika kau putuskan berjalan menuju ITHACA
Berdoalah bahwa jalan yang kau lalui akan panjang
Penuh dengan petualangan, penuh dengan pengetahuan

Bertemu dengan orang-orang Lestrigo dan orang-orang Cyclop
Usah khawatirkan kemarahan orang-orang Poseidon

Jika fikiranmu masih dipenuhi keangkuhan, atau sebuah kesenangan
Emosi akan menyentuh jiwa dan ragamu

Orang-orang Lestrigo, Orang-orang Cyclop
Keganasan orang-orang Poseidon yang tak bisa kau hindari
Usah kau bawa bersama jiwamu

Berdoalah bahwa jalan yang kau lalui akan panjang
Melewati pagi-pagi di musim panas dengan kegembiraan, dengan kesenangan
Kau akan memasuki pelabuhan untuk kali pertama

Singgahlah di pasar orang-orang Phoenicia, belilah beberapa barang
Mutiara, bebatuan atau ebony dan segala jenis wewangian sebanyak yang kau bisa

Kunjungi kota-kota yang dihuni oleh orang-orang Mesir
Untuk belajar dan belajar dari para cendikia

Tetaplah ingat akan ITHACA, untuk sampai pada tujuanmu
Tetapi janganlah telalu tergesa-gesa dalam pelayaran ini

Lebih baik membiarkanya untuk beberapa tahun
Agar kau labuhkan jangkar di masa tuamu
Menjadi kaya dengan segala yang telah kamu raih dalam perjalanan

Jangan berharap bahwa ITHACA akan memberimu kekayaan
ITHACA telah memberimu keindahan sebuah perjalanan

Tanpa ITHACA, kau tak akan pernah melakukan perjalanan ini
ITHACA tidak punya lebih untuk diberikan kepadamu


Dan jika kau temukan kemiskinan pada ITHACHA
ITHACA tidak pernah membohongimu

Jadilah bijaksana dengan begitu banyak pengalaman
Tentunya kau sudah tahu, apa itu ITHACA
***

(Diambil dari ITACHA dalam the Zahir: Paulo Coelho)

Diterjemahkan secara bebas dalam perjalanan ke London, Summer 2005

Saturday, February 3, 2007

Feeling the Freedom


a book review of Reading Lolita in Tehran
The #1 New York Times Bestsellers
A memoir in a book by Azar Nafisi
347 + ix (pgs), published by Random House USA

-For Ayox, in the loneliness island of Bacan North Maluku, enjoy reading life sentences-


“The genuine democracy cannot exist without the freedom to imagine and the right to use imaginative works without any restriction” (Nafisi on Reading Lolita in Tehran)


I was accompanying my friend looking for English books in one foreign bookstore in Yogya, when I saw “Reading Lolita in Tehran”. I read the comments on the back page; it was very attractive, successfully persuaded me not to leave the bookstore without having it.

Imported books are much more expensive here, even though Yogya has many English readers as a tourism place, it does not has any impact of the price of imported book to getting cheaper. But I don’t want to wait until the translated edition published in Indonesia, it may take 2 or 3 years after.

This book is a memoir of a university teacher who teaches literacy, named Azar Nafisi. Teaching in the Islamic Republic was subservient to politics and subject to arbitrary rules. She resigned from the university she used to work, she felt there is no freedom on exploring the subject she teach under the arbitrary and narrow minded of the regime. Then she selected seven female of her students continuing the class at her house, a secret class.

Under the Iran revolutionary regime with very fundamentalist Islamic setting, she teaches western classic literacy. They gathered the freedom of thought trough fictions. It seemed that Nabokov’s novel “Lolita” was inspiring this book. They tried to understand, the reality of life under the regime and the reality on fiction.

Why Lolita? Lolita was not critique of the Islamic Republic. Lolita a novel about a man who in order to possess and captivate a twelve- year old girls, indirectly causes the death of her mother. Lolita went against the grain of all totalitarian perspectives. Nafisi asks to imagine reading Lolita in Tehran, connecting to their reality of life. Nabokov calls every great novel a fairy tale, every fairy tale offers the potential to surpass present limit that reality denies. In all great works of fiction, regardless of the grim reality they present there is an affirmation to life against the transience of that life, an essential defiance.

Not only reading and exploring Lolita, in this book you will explore more other classical fictions, you will felt that you are in the class and directly teach by Nafisi. Set up your own background by imagined her mind set. This book also compassion of Nafisi, passed the years under the regime.

Nafisi described be a woman living under the tyrant is like having sex with a man you loathe. It is like if you are forced to having sex with someone you dislike, you make your mind blank, you pretend to be somewhere else, you tend you forget your body, and you hate your body. She created original work on the relationship between life and literature.

I persuade you, to read this book, especially for my female friends, and let us celebrate the liberating power of literature.

Cheers

Detektif Feng Shui


-Kumpulan kisah petualangan detektif-


Karya : Nuri Vittachi
Penerbit : C! Publishing (PT Bentang Pustaka)
Tebal : 378 hal

Bosan membaca karya sastra yang serius dan berat? Mungkin novel yang satu ini bisa menjadi selingan. Gaya bahasanya kocak dan ringan. Membacanya kita akan menemukan banyak kosa kata unik yang lucu dan baru, toh dengan bahasa yang terkesan konyol kisah-kisah yang diceritakan mengandung banyak kebajikan dan pelajaran hidup.

C.F Wong adalah seorang ahli feng shui yang menetap di Singapura, bekerja pada sebuah perusahaan yang memberikan jasa tata letak ruangan atau bangunan dengan perhitungan-perhitungan aliran energi atau biasa di sebut chi. Suatu hari bosnya menitipkan seorang anak dari klien terbesar perusahaan tersebut untuk belajar feng shui bersamanya, dan menjadi assisten bagi Wong. Seorang gadis Amerika, yang harus bekerja dengan seorang Asia dan dengan setting Asia yang kental.

Wong tidak bisa menolak, karena ayah sang gadis adalah klien yang cukup berperan dalam perusahaanya- toh pada akhirnya mereka pun berpartner, menangani order-order penataan ruangan, taman, rumah dan lain-lain.
Joyce McQuinnie, begitu nama gadis Amerika itu, banyak mengajarkan wong kosa kata bahasa Inggris, yang menurut wong aneh.

Dengan keahlian feng shuinya, wong tidak saja memberikan nasehat feng shui, tetapi malah mengungkapkan berbagai kasus kejahatan, pembunuhan dan skandal sebuah perusahaan media. Bagi para penggemar cerita detektif yang biasa membaca karya Agatha Crishti, novel kecil ini bisa dijadikan pilihan lain, dan tidak melulu bermain dengan logika Poarot. Bagi saya yang pernah sedikit belajar tentang ilmu bangunan, logika feng shui cukup masuk akal dan layak di praktekkan untuk keharmonisan bangunan, alam dan manusia.

Dalam novel ini, kita tidak hanya diajak berpetualang, memecahkan misteri-misteri dengan logika feng shui, lebih jauh kita akan disuguhi mutiara-mutiara kebajikan dari timur di padu dengan kisah kocak dan bahasa yang segar, sebuah sketsa lintas budaya yang dikemas dalam bahasa novel detektif yang ringan, cocok di baca di akhir minggu untuk menghilangkan penat setelah satu minggu bekerja. Lagi-lagi sebuah provokasi, untuk anda sekalian membaca sendiri karya ini. Selamat membaca!

“Siapa Suruh Datang Jakarta”

Dari semalam radio butut di kamar kost saya , gencar memberitakan banjir di Ibukota republik ini. Pagi pagi pun berita di RRI pro 3, Trijaya FM dan Eltira masih dengan topik bahasan yang sama, mulai dari transportasi yang lumpuh, istana kepresidenan yang kebanjiran, tinggi muka air di pintu-pintu air terus di pantau dan di beritakan, talk show mulai dari ahli agama, ahli kebijakan, ahli tata bangunan dan ahli-ahli lainya membahas hal yang sama pula (mungkin juga termasuk ahli nujum).

Yang ahli agama bilang sabar…ini adalah ujian dari yang maha kuasa, yang ahli kebijakan bilang ini adalah kesalahan kebijakan, yang ahli bangunan bilang ada kesalahan perencanaan dan kesalahan teknis..opini-opininya malah bikin saya pusing. Menurut saya sih nggak usah banyak komentar deh para ahli itu, lebih bagus bantuin angkat-angkat barang para korban yang kebanjiran, dari pada sekedar talk show. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga radio, hidup dari cuap-cuap, dan saya pun nggak rugi-rugi amat, malah bisa memantau keadaan diluar Jogja sambil sesekali mendengarkan lagu-lagu yang up to date.

Belum lagi menjelang siang di kampus tempat saya belajar, YM bergetar BUZZ!!!…seorang kawan yang pernah jadi boss saya yang sekarang sedang bertugas di Jakarta menyapa (lebih tepat dibilang menggerutu). Dan diskusi via YM pun mengalir, “negara kita memang negara kelas menengah keluhnya, birokratnya kelas menengah, elit politiknya kelas menengah, intelektualnya kelas menengah…” makanya kebijakan yang dibuat juga setengah-setengah, belajar uga setengah-setengah, bekerja juga setengah-setengah begitulah yang saya pahami dari keluh kesahnya. Beberapa ungkapan kekesalan masih muncul dalam box YM saya, dan saya biarkan kawan saya berkeluh kesah tentang republik ini.

Saya menanyakan kabar Jakarta, mengingat berita banjir yang juga membanjiri berbagai media termasuk radio kesayangan saya di Jogja. Alih-alih memberi kabar tentang keadaanya, kawan saya terus mencercau tentang bobroknya negeri kami ini, ya rumah kami ini. Mencoba mencari perbandingan dengan negara tetangga Singapura yang baru dikunjunginya beberapa waktu lalu. Kalau begini memang enak tinggal diluar negri ya…begitu katanya. Nah lho!!!, rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau ya.

Kawan saya ini seorang aktivis atau paling tidak sok aktif lah atau pura-pura aktif (begitu biasa saya menggodanya), saya bisa maklum kalau dia sefrustasi ini. Saya menyarankan untuk meluapkan kemarahanya ke media, “tulis di koran”, saya mencoba memprovokasi, tapi saya tidak menyarankan dia untuk ikutan talk show (he..he..), katanya, berkali-kali dia menulis, tidak juga ada pengaruhnya, tidak ada perbaikan…bla..bla…bla… , chatting berujung pada protesnya akan pemenuhan hak ekosob (ekonomi sosial dan budaya), sebagai bagian dari HAM, aduh “hari gini ngomongin HAM, di republik ini, mimpi kali yee…saya mencoba menimpali (saya juga pura-pura sok intelek ), saya jadi terikut mengomentari keluh kesahnya akan keadaan yang sedang terjadi di Jakarta.

Kebetulan minggu lalu saya menghabiskan waktu seminggu di Jakarta, menengok keluarga besar yang memang sudah menjadi warga Jakarta sejak lama. Lalu gantian saya yang mencercau tentang Jakarta, sungainya dipenuhi sampah yang baunya membuat hilang selera makan, transportasinya yang kacau. Jangankan untuk kaum pendatang, untuk warga Jakarta sendiri saja menurut saya sudah tidak ramah, sama sekali tidak nyaman, dan bikin saya depressi apalagi apabila hendak bepergian. Karena saya harus menggunakan angkutan publik (maklum ekonomi lemah dan tidak punya mobil sendiri). Boleh percaya atau tidak, saya bisa mendadak sakit perut bila hendak bepergian di Jakarta, membayangkan macetnya, membayangkan bau selokan dan sungai-sungai yang ditimbuni sampah, membayangkan berlari-lari mengejar bis tetapi tetap harus berdiri juga karena bis yang penuh sesak, atau harus olah raga jantung bila harus naik metro mini yang supirnya ugal-ugalan…kata teman saya yang seorang psikolog ini namanya psikosomatis.

Kok bisa ya..kota yang sangat tidak ramah ini terus dibanjiri kaum urban yang hendak mengadu untung. Padahal lebih banyak “buntung” dari pada untung yang diraih. Menjadi PRT, PKL, PSK, mengamen dengan alat musik dan suara pas-pasan, tinggal di bantaran sungai atau sepanjang bantaran rel kereta mungkin dianggap lebih nyaman dibandingkan harus mencangkul dan menunggu hasil panen (yang kemungkinan panen berhasil juga tidak bisa dijamin).Atau tempat asalpun sudah tidak menjanjikan kesejahteraan bagi mereka, mungkin kota asalnya justru lebih kejam dari pada ibukota, entahlah saya lelah memikirkanya…

Saya pamit kepada kawan saya, untuk sign out karena masih ada yang harus saya selesaikan dengan para birokrat di kampus. Teman saya menyarankan untuk segera bergegas bila berurusan dengan birokrat, maklum hari jum’at. Mereka biasa memakai alasan “jumat” untuk tidak melayani mahasiswa dengan maksimal (Oh…Indonesia…Indonesia…kapan berubah??)

Kembali ke kamar sewa, sayup-sayup suara dari radio masih memeberitakan banjir, yang katanya sudah merangsak ke jalan-jalan protokol ibukota (rupanya saya lupa mematikan radio tadi pagi). Duh….susahnya jadi orang Jakarta.

Untuk Cahaya_ Matajalan, Siapa Suruh datang Jakarta….Lets go home!!

Yogyakarta, 2 Februari 2002

Don’t Judge a Book by its Cover

Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya, begitulah kira-kira terjemahan bebas dari judul diatas. Ungkapan tersebut sudah lama saya dengar, sama dengan cara kita menilai seseorang, buku juga tidak hanya bisa dilihat dari tampang luarnya saja, isi mungkin lebih penting dari sampulnya.

Akan tetapi bagi saya, sampul buku tidak dapat dipisahkan dari sebuah karya tulis menulis secara keseluruhan, karena design sampul itu sendiri adalah sebuah karya yang juga patut dihargai. Saya selalu tertarik dengan sampul buku yang gambarnya bagus dan buru-buru saya buka halaman yang menyebutkan sang designer sampulnya. Bagaimana mereka bisa menuangkan isi cerita buku tersebut dalam satu lembar sampul. Lihatlah contoh-contoh sampul buku ini. Bukankan sebuah karya yang luar biasa?


Makanya saya agak kurang sependapat dengan ungkapan diatas, Cover sangat penting, apalagi karya-karya sastra atau buku-buku umum. Sampul harus mampu menggelitik daya imajinasi kita untuk membayangkan isi dari sebuah buku. Buku-buku yang bagus harus ditunjang oleh design sampul yang bagus, agar karyanya mejadi lebih sempurna. Meskipun banyak juga sampul yang menipu, yang tidak sebagus isinya.

Menghargai sebuah karya tulis adalah menghargai sebuag kerja invisible team, menghargai kerja editor, penyunting, designer sampul, penerbit, penterjemah dan tentu sang penulis sendiri.
Masih agak sulit bagi kita untuk memberi penghargaan akan karya-karya tulis. Kita tinggal dalam negara yang carut marut oleh berbagai permasalahan ekonomi, bencana, dan pertarungan politik yang bagai tiada akhir. Alih-alih mempromosikan budaya membaca dan menulis, harga buku yang berkualitas semakin tidak tejangkau oleh kebanyakan penduduk. Sehingga pembajakan buku pun menjadi bisnis yang lebih menguntungkan pembajak sekaligus meringankan para pembeli, siapa yang hendak disalahkan? Jangankan membeli buku, buat makan saja masih harus berfikir. Bagaimana mau mengekspresikan ide dalam tulisan, bila masih disibukan dengan urusan banjir, hutang, spp anak-anak yang belum terbayar yang juga butuh pemikiran daripada sekedar menuangkanya dalam ekspresi tulis, sedang perpustakaan umum tidak bisa menjadi alternatif sebagai lokasi yang layak dikunjungi, kecuali bagi para kutu buku..yang haus ilmu yang murah meriah..duh

Akan tetapi skeptisme pun tidak akan menyelesaikan masalah, kenapa tidak kita mulai dari, mencintai karya-karya orang-orang hebat yang mampu menuangkan imajinasi, ide, dan berbagi ilmunya melalui buku, lebih bagus lagi mencoba berbagi seperti mereka, saya teringat akan Pramoedya Ananta Toer, katanya “ Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama dia tidak menulis, dia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah, menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

So..Dont judge books on your “koper” (baca: jangan hukum buku di dalam koper anda) artinya buku jangan cuma disimpan dalam koper, hargailah mereka dengan membacanya :-p, dan mulailah menulis..
Wassalam

Thursday, January 18, 2007

Saudagar Buku Dari Kabul


-International Best Seller-

Novel Karya : Åsne Seirstad
Penerbit : qanita , Bandung
Tebal : 463 halaman



Sekali lagi saya suguhkan resensi sebuah novel yang mengambil seting Afghanistan. Bagi saya ini adalah sebuah reportase yang “unik” dan “renyah” (saya tidak menemukan bahasa yang tepat untuk mengambarkanya), ditulis oleh seorang wartawan Norwegia yang terlibat dalam cerita-cerita didalam novel ini, akan tetapi dia sendiri berada diluar cerita. Lucu, sedih, menggeramkan disusun selang-seling menambah selera membaca kita. Bukan sekedar drama keluarga ini adalah juga kisah sejarah, kisah tentang rezim-rezim yang berkuasa di sebuah negeri yang tak pernah reda oleh perang, sebuah negeri yang oleh Amerika di bubuhi stempel tebal “sarang terorris”.

Tersebulah sebuah keluarga Afghan di Kabul, Sultan Khan sang kepala keluarga. Dia anak laki-laki pertama dalam keluarganya. Sebagaimana budaya yang berlaku anak laki-laki adalah kebanggan. Jadi meskipun keluarganya miskin, Sultan menyelesaikan pendidikan sebagai Insinyur, sementara saudara-saudara perempuan lainya harus merelakan menjadi buta huruf demi anak laki-laki.

Sultan meskipun seorang Insinyur teknik, dia lebih mencintai buku, kecintaanya akan buku mendorongnya untuk membangun bisnis buku. Ini adalah bisnis tidak lazim bagi negara yang pada saat itu ¾ penduduknya buta huruf. Sultan mempunyai misi yang sangat kuat akan bangkitnya peradaban Afghan melalui kebudayaan dan kesusastraan negerinya.

Beberapa kali koleksi bukunya dibakar oleh rezim yang berbeda-beda, Mula-mula komunis membakar koleksi bukunya, kemudia Mujahiddin menjarah dan merampasnya lalu Taliban membakarnya lagi. Dia harus pula berurusan dengan departemen pembinaan kebajikan dan penghapusan dosa (sebuah departemen dengan nama yang aneh menurut saya) untuk bisnis yang dilakukanya. Rezim Taliban sangat mengharamkan buku-buku yang memuat gambar makhluk hidup – itu adalah perbuatan anti Islam- Sultan di penjara, di intograsi, dan menyaksikan bukunya di bakar oleh tentara yang membaca saja pun tidak bisa. Tetapi dia tidak peduli, berbagai cara dia lakukan untuk menyelamatkan bisnisnya-bukunya dan juga sejarah Afghanistan.

Diluar itu Sultan adalah, lelaki Afghanistan, yang tumbuh dan besar dalam kultur Islam yang kuat. Meskipun dia tidak melakukan kewajiban-kewajiban ibadah Islam secara rutin. Pikiranya yang moderat tidak berlaku bagi keluarganya. Anak-anaknya tidak diperkenankan melanjutkan sekolah karena harus membantunya dalam bisnis bukunya. Para perempuan tinggal dirumah, melayani laki-laki yang seharian bekerja, mengurus anak-anak dan selalu disalahkan apabila ada yang tidak berkenan di hati para lelaki.
Ketika dirasakan istrinya sudah mulai berumur Sultan menikah lagi dengan gadis belia, Seirstad menceritakan dengan ringan proses peminangan Sultan yang “tidak lazim” sampai dengan pesta pernikahan mereka, juga perasaan-perasaan istri pertamanya . Sultan mempunyai dua orang istri dengan empat orang anak dari keduanya dan tingal dalam satu rumah. Dalam keluarga itu juga tinggal ibu dan saudara-saudara perempuan Sultan. Karena dia laki-laki paling tua dan tiada lagi ayahnya maka ia adalah raja dalam keluaganya, perkataanya layaknya hukum dan tidak bisa di bantah.

Ini adalah potret buram kaum perempuan dalam peradaban yang di klaim sebagai peradaban “Islam” oleh para penguasanya. Perempuan tidak mempunyai hak untuk membuat keputusan tentang masa depanya – masa depan adalah pernikahan dengan laki-laki yang sudah menjadi kesepakatan keluarganya. Martabatnya hanya akan terangkat bila mereka menikah dengan laki-laki terhormat dan melahirkan anak laki-laki, selebihnya hidupnya hanyalah melayani kaum lelaki.

Latar belakang lainya yang juga turut mendukung cerita ini adalah perang yang sepertinya tiada pernah usai. Perang dan perang itulah hari-hari Afghanistan, bocah-bocah lebih mengenal Kalashnikov daripada permainan anak-anak seusianya. Negeri yang selalu bergulat dengan kemiskinan dan paska September 11 menjadi musuh Amerika, meski sebagian dari mereka tidak tau sebabnya.

Tulisan saya ini tidaklah cukup untuk menggambarkan semua kisah yang ada dalam novel Seirstad, untuk lebih merangsang anda sekalian membacanya senidiri dan terlibat langsung dalam sebuah petualangan dan kehidupan keluarga Afghanistan. Kegetiran – Kemiskinan – Penindasan terhadap perempuan di sebuah zaman yang serba global ini.

Yogyakarta, 19 Januari 2007