Saturday, February 3, 2007

“Siapa Suruh Datang Jakarta”

Dari semalam radio butut di kamar kost saya , gencar memberitakan banjir di Ibukota republik ini. Pagi pagi pun berita di RRI pro 3, Trijaya FM dan Eltira masih dengan topik bahasan yang sama, mulai dari transportasi yang lumpuh, istana kepresidenan yang kebanjiran, tinggi muka air di pintu-pintu air terus di pantau dan di beritakan, talk show mulai dari ahli agama, ahli kebijakan, ahli tata bangunan dan ahli-ahli lainya membahas hal yang sama pula (mungkin juga termasuk ahli nujum).

Yang ahli agama bilang sabar…ini adalah ujian dari yang maha kuasa, yang ahli kebijakan bilang ini adalah kesalahan kebijakan, yang ahli bangunan bilang ada kesalahan perencanaan dan kesalahan teknis..opini-opininya malah bikin saya pusing. Menurut saya sih nggak usah banyak komentar deh para ahli itu, lebih bagus bantuin angkat-angkat barang para korban yang kebanjiran, dari pada sekedar talk show. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga radio, hidup dari cuap-cuap, dan saya pun nggak rugi-rugi amat, malah bisa memantau keadaan diluar Jogja sambil sesekali mendengarkan lagu-lagu yang up to date.

Belum lagi menjelang siang di kampus tempat saya belajar, YM bergetar BUZZ!!!…seorang kawan yang pernah jadi boss saya yang sekarang sedang bertugas di Jakarta menyapa (lebih tepat dibilang menggerutu). Dan diskusi via YM pun mengalir, “negara kita memang negara kelas menengah keluhnya, birokratnya kelas menengah, elit politiknya kelas menengah, intelektualnya kelas menengah…” makanya kebijakan yang dibuat juga setengah-setengah, belajar uga setengah-setengah, bekerja juga setengah-setengah begitulah yang saya pahami dari keluh kesahnya. Beberapa ungkapan kekesalan masih muncul dalam box YM saya, dan saya biarkan kawan saya berkeluh kesah tentang republik ini.

Saya menanyakan kabar Jakarta, mengingat berita banjir yang juga membanjiri berbagai media termasuk radio kesayangan saya di Jogja. Alih-alih memberi kabar tentang keadaanya, kawan saya terus mencercau tentang bobroknya negeri kami ini, ya rumah kami ini. Mencoba mencari perbandingan dengan negara tetangga Singapura yang baru dikunjunginya beberapa waktu lalu. Kalau begini memang enak tinggal diluar negri ya…begitu katanya. Nah lho!!!, rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau ya.

Kawan saya ini seorang aktivis atau paling tidak sok aktif lah atau pura-pura aktif (begitu biasa saya menggodanya), saya bisa maklum kalau dia sefrustasi ini. Saya menyarankan untuk meluapkan kemarahanya ke media, “tulis di koran”, saya mencoba memprovokasi, tapi saya tidak menyarankan dia untuk ikutan talk show (he..he..), katanya, berkali-kali dia menulis, tidak juga ada pengaruhnya, tidak ada perbaikan…bla..bla…bla… , chatting berujung pada protesnya akan pemenuhan hak ekosob (ekonomi sosial dan budaya), sebagai bagian dari HAM, aduh “hari gini ngomongin HAM, di republik ini, mimpi kali yee…saya mencoba menimpali (saya juga pura-pura sok intelek ), saya jadi terikut mengomentari keluh kesahnya akan keadaan yang sedang terjadi di Jakarta.

Kebetulan minggu lalu saya menghabiskan waktu seminggu di Jakarta, menengok keluarga besar yang memang sudah menjadi warga Jakarta sejak lama. Lalu gantian saya yang mencercau tentang Jakarta, sungainya dipenuhi sampah yang baunya membuat hilang selera makan, transportasinya yang kacau. Jangankan untuk kaum pendatang, untuk warga Jakarta sendiri saja menurut saya sudah tidak ramah, sama sekali tidak nyaman, dan bikin saya depressi apalagi apabila hendak bepergian. Karena saya harus menggunakan angkutan publik (maklum ekonomi lemah dan tidak punya mobil sendiri). Boleh percaya atau tidak, saya bisa mendadak sakit perut bila hendak bepergian di Jakarta, membayangkan macetnya, membayangkan bau selokan dan sungai-sungai yang ditimbuni sampah, membayangkan berlari-lari mengejar bis tetapi tetap harus berdiri juga karena bis yang penuh sesak, atau harus olah raga jantung bila harus naik metro mini yang supirnya ugal-ugalan…kata teman saya yang seorang psikolog ini namanya psikosomatis.

Kok bisa ya..kota yang sangat tidak ramah ini terus dibanjiri kaum urban yang hendak mengadu untung. Padahal lebih banyak “buntung” dari pada untung yang diraih. Menjadi PRT, PKL, PSK, mengamen dengan alat musik dan suara pas-pasan, tinggal di bantaran sungai atau sepanjang bantaran rel kereta mungkin dianggap lebih nyaman dibandingkan harus mencangkul dan menunggu hasil panen (yang kemungkinan panen berhasil juga tidak bisa dijamin).Atau tempat asalpun sudah tidak menjanjikan kesejahteraan bagi mereka, mungkin kota asalnya justru lebih kejam dari pada ibukota, entahlah saya lelah memikirkanya…

Saya pamit kepada kawan saya, untuk sign out karena masih ada yang harus saya selesaikan dengan para birokrat di kampus. Teman saya menyarankan untuk segera bergegas bila berurusan dengan birokrat, maklum hari jum’at. Mereka biasa memakai alasan “jumat” untuk tidak melayani mahasiswa dengan maksimal (Oh…Indonesia…Indonesia…kapan berubah??)

Kembali ke kamar sewa, sayup-sayup suara dari radio masih memeberitakan banjir, yang katanya sudah merangsak ke jalan-jalan protokol ibukota (rupanya saya lupa mematikan radio tadi pagi). Duh….susahnya jadi orang Jakarta.

Untuk Cahaya_ Matajalan, Siapa Suruh datang Jakarta….Lets go home!!

Yogyakarta, 2 Februari 2002

No comments: