Friday, September 7, 2007

Diantara “Ikhtiar” dan “Mendua”


Semarang 9 Agustus 2007, jam 7 pagi, baru saja kunyalakan Hp. Sebuah pesan singkat masuk dari teman di Jogja mengabarkan sebuah musibah, kost-kost anya kecurian, 3 motor + 6 helm + 1 jaket + 2 set sarung tangan + 1 celana hujan dalam jok motorku, Masya Allah…niat banget malingnya…Aku hanya terduduk lemas belum bisa berfikir apa yang mesti aku lakukan. Orang tuaku hanya terbengong-bengong mendengar beritaku…”kok bisa??” begitulah kira-kira reaksi yang kutangkap dari raut wajahnya.

Beberapa teman kuhubungi untuk sekedar memberi tahu, menghubungi teman polisi dan teman yang punya jaringan dengan preman-preman (katanya di negeri ini untuk urusan barang hilang, preman lebih bisa diandalkan dari pada polisi). Didalam bis menuju kantor aku hanya termangu-mangu, mengingat satu tahun terakhir ini bersama H 4611 CN. Motor itu telah setia menemani hari-hari menuntut ilmu di kota pelajar ini, mengantar teman-teman, belum pernah bocor ban, hanya suka ngadat kalau pagi, karena aki sudah soak dan butuh diganti. H 4611 CN, adalah andalanku untuk memancing teman-teman ke Jogja, ke jogja aja, nanti aku ajak jalan-jalan pake motor, begitulah setiap kali aku menawarkan iming-iming ke teman-teman. Tapi rupanya romansa kisah cintaku dengan H 4611 CN, harus berakhir setragis ini. H4611 di maling…duh gusti…ujiankah ini??

Dalam perjalanan ke jogja, perasaanku sudah sedikit lebih tenang. Buku kecil berjudul “Bertanya Tuhan tentang Rezeki yang sudah beberapa hari ini ku baca cukup mujarab untuk memahami apa yang sedang kualami. “Manusia seringkali mengira bahwa apa-apa yang mereka peroleh adalah semata-mata hasil kerja kerasNya, mereka lupa bahwa itu semua semata-mata dari Allah SWT”. Begitulah salah satu penggalan kalimat dalam buku tersebut..Masya Allah, tidaklah suatu kejadian Engkau ciptakan secara kebetulan, semua berada dalam hitungan dan kendali Nya..aku pun terlelap dalam perjalanan.

Langsung menuju TKP yaitu di asrama putri An-Nur, Jl. Monjali no 177 B, temanku dan beberapa anak asrama lainya sedang berdiskusi mencoba melakukan analisa dari kejadian tadi pagi, nampaknya si Maling memanfaatkan momen gempa yang sempat menggoyang Jogja malam itu. Persoalan mulai mengerucut dengan mengusut kunci siapa yang pernah hilang, tapi tetap buntu. Menurut anggota asrama bahkan induk semang mereka sudah mendatangi “orang pintar” untuk menanyakan siapa pencuri motor-motor anak asuhnya. Kabarnya sudah ada nama yang dicurigai. Katanya si “orang pintar” meminta si ibu untuk menyebutkan nama yang dia curigai, kendi yang ada pada si embah dukun ini akan berputar bila betul dia pencurinya. Nah lho…

Aku dan temanku berdiskusi, intinya ya sudah kita ikhlaskan saja, kehilangan ini bukan karena kesalahan prosedur pengamanan kendaraan, memang lagi sial saja motorku yang numpang parkir di situ ikut diangkut maling. Standar pelaporan kehilangan juga sudah dilakukan, 5 jam teman-teman ditanya-tanyai polisi dengan hasil 1 lembar surat kehilangan. Tapi rasanya kami pun pesimis dengan kinerja aparat kepolisian. Sudahlah…meskipun kesal sama si maling kami mencoba menerima kenyataan ini.

Urusan dengan “Orang Pintar”

Ternyata si induk semang yang merasa terlecehkan karena asramanya tentu akan mendapatkan cap baru sebagai asrama yang tidak aman belum berhenti usahanya. Dengan bujuk rayunya dia mengajak kami menemui orang pintar. KH “A” di Bantul, katanya bisa memperlihatkan muka si pencuri pada kita. Kami yang tidak pernah dan sebetulnya tidak mau berurusan dengan yang begitu-begitu menjadi susah hati dan merasa tidak enak untuk menolak. Kami khawatir si ibu tersinggung karena tawaran baiknya di tolak.

Meluncurlah kami ber 5, si ibu ditemani keponakanya, aku dan temanku, serta salah satu anak kost yang juga menjadi korban pencurian. Kami mencoba bergurau, kami semua mahasiswa, yang sering kali berhubungan dan berurusan dengan “orang-orang pintar” di kampus. Mulai dari para sarjana, para master, doctor dan professor, tapi bukan untuk urusan motor hilang tentunya. Apa kata dunia???

Singkat cerita sampailah kami di rumah si “orang pintar” dimaksud, sebuah rumah besar yang sekaligus dijadikan bengkel kerja las. Terasnya sengaja di buat agak luas untuk menampung tamu-tamu. Tuan rumah kiranya menyukai hewan langka, tampak di halaman berlenggak-lenggok dengan cantik kakaktua hitam dan putih, ada juga burung beo dalam sangkar. “Tamu harap menulis di buku tamu dan mengantri” sebuah papan kecil dipasang situan rumah di terasnya. Kami menunggu beberapa lama, tamu-tamu semakin banyak berdatangan, tapi sang “kyai” belum juga Nampak batang hidungnya. Rupanya karena hari jumat jam istirahat “kyai” jadi lebih panjang he..he..

Sang Kyai, umurnya sekitar 50 tahun, bertubuh besar, mukanya bulat lucu, memakai kaus berkerah dan sarung putih, kopiah putih melekat di kepalanya. Saat dia datang kami semua disuruh masuk ke dalam ruanganya, lebih tepatnya ruang kerja sang kyai, rupanya sang kyai akan memberi service secara masal. Sekitar 15 – 20 orang terdiri dari beberapa rombongan memasuki ruangan 3 x 6 m dengan sekat tirai menghubungkan dengan ruangan di sebelahya. Sebuah sofa yang sudah agak kusam berfungsi sebagai singgasana sang kyai, meja tamu didepanya di penuhi berbagai benda kecil, bekas-bekas amplop yang telah di buka bertumpuk disalah satu sudut meja, satu botol besar minumam mineral, satu buah toples berisi kacang telur dan berbagai benda kecil lainya yang tidak sempat terekam olehku, yang jelas mejanya tampak acak-acakan. Disebelahnya ada meja yang agak lebih tinggi, beberapa musaf al-Quran ditumpuk seadanya. Aku sengaja duduk di depan ingin mengetahui “atraksi” sang kyai dalam memberi nasehat kepada manusia-manusia yang datang dengan muka penuh pengharapan (kecuali kami ber 3, aku, Gita dan Helen) yang terpaksa harus berurusan dengan dunia perklenikan di Jogja, sedang induk semang teman-temanku ini mukanya tegang seperti KTP yang baru saja dilaminating. Disamping kanan sang kyai disediakan 2 kursi kayu bagi orang-orang yang berurusan denganya, selebihnya kami duduk di bawah meyaksikan sang actor berlaga. Klien pertama di panggil, ke depan, pasangan muda tampaknya.

“Opo masalahmu?” (apa masalahmu-red) atraksi dimulai…”anu kyai…saya mau jual tanah, biar cepat laku”….”mmmmm..tanahmu yang dimana?”(sambil memejamkan mata) sok tau sekali si Kyai ini pikirku, seperti tau saja kalau si klien punya banyak tanah. “Anu kyai, tanah yang di Depok” lanjut si wanita muda tadi. Sang Kyai berdiri menuju ruang di seblah yang tersekat oleh tirai hijau, beberapa detik kembali dengan gelas yang diisi beras, Kyai menggumam tidak jelas dia mengambil sejumput beras dikunyahnya. Atraksi diselingi dengan banyolan-banyolan dan celoteh si dukun, kadang memarahi klien, kadang melucu, aku seperti menyaksikan pertunjukan sulap di acara ulang tahun anak-anak. Sang kyai meletakan remahan beras yang dikunyahnya kedalam tanganya..dia berdoa lagi- aku berharap-harap cemas menanti apa yang akan terjadi, sang kyai meminta si klien membuka tanganya dan menerima sesuatu dari sang kyai, bukan sulap bukan sihir kawan…beras tadi berubah menjadi sesuatu (aku tidak bisa melihatnya dengan jelas) sepertinya biji-bijian berwarna hijau, “tanam di setiap sudut” begitu perintahnya. “Sudah pergi sana..” usir sang kyai pada klienya, si ibu muda ini belum juga beranjak…”Opo maneh???” sang kyai gusar “Anu kyai…..saya pengen punya anak” keluh ibu muda memelas, suaminya menatap sang kyai menghiba. Kembali sang kyai membuat banyolan-banyolan konyol dan fulgar..sungguh sangat jauh dari kesan alim, shaleh tawadhu seperti bayangku.

“yang nggak bisa kamu apa suamimu”, Tanya sang kyai…aku hampir tersedak mendengar pertanyaan yang sangat pribadi terlontar di depan bayak orang oleh “seorang pintar” …langsung menguap respect ku pada sang tokoh, tapi si ibu muda tadi masih takzim mengikuti instruksi sang dukun, meski jelas harga dirinya tersungkur dihadapan kami semua…namanya juga ikhtiar..mungkin seperti itulah jeritan hatinya.

Hari ini aku belajar dunia lain yang mau tidak mau aku harus pahami. Orang berdatangan mulai dari urusan bisnis yang kurang maju, jodoh yang tak kunjung datang, barang hilang, penyakit yang tak kunjung sembuh dengan muka-muka pengharapan kepada sang kyai konyol ini. Bagaimana mungkin??? Bagaimana mungkin masalah-masalah tersebut diselesaikan oleh sulap dan pertunjukan debus disertai banyolan ala tukul arwana yang fulgar. Aku membayangkan seandainya yang datang adalah para pejabat negara, anggota dewan yang terhormat, para mentri yang mengajukan masalah-masalah negara yang rumit…Ohhh…apa kata dunia???

Tiba giliran kami di layani, yang jelas aku tidak mau berurusan dan di permalukan oleh sang kyai didepan para pencari solusi melalui jalan pintas ini. Si induk semang dan teman yang juga kehilangan motornya yang menjadi korban sulap sang dukun, dengan mantra-mantra yang di ucapnya bukan sulap bukan sihir temanku diminta melihat kedalam sebuah gelas berisi air dan diminta membaca keras-keras apa yang dilihatnya….ragu-ragu si Helen membaca..”jalan…mangkoyudan..”.. lebih keras perintah sang kyai sedikit membentak Helen pun serta merta membacanya dengan keras. Atraksi belum selesai, rupanya si Induk semang yang khawatir rumah asramanya hilang pamor meminta perlindungan sang dukun,agar rumah kostnya menjadi aman seperti sedia kala. Seperti atraksi sebelumnya, setelah japa mantra diucapkan tiba-tiba muncul sebuah benda ditanganya…tanam di depan rumah perintah sang kyai.

Duh Gusti….ampuni hamba….

Lega rasanya meninggalkan rumah sang kyai…sebuah pelajaran yang sangat berharga ku dapat, sebuah fenomena yang nyata ada ditengah masyarakat kita. Paranormal, perdukunan, praktek klenik di balik kedok Islam sebuah agama mayoritas dinegeri ini menjadi pilihan instan bagi pencari masalah-masalah keseharian. Anda tidak perlu susah-susah belajar teori-teori bisnis, cukup datang ke kyiai “Anu”, si mbah “itu”. Aku bertanya kemana semua Dai lulusan Universitas Islam ternama yang menyeru untuk selalu meluruskan aqidah? apakah ilmu “sulap” sang kyai lebih mudah dipahami daripada pemahaman keimanan yang sangat abstrak?

Akhirnya tampaknya perlu kita renungkan, apa yang dimaksud dengan ikhtiar, karena seringkali kita memakai alasan “ikhtiar” ketika kita meyakini perklenikan. Batas antara ikhtiar dan keimanan pada yang ghaib bersinggungan dan menjadi kabur oleh “keyakinan-keyakinan” lain yang muncul, yakin bahwa sang Kyai dapat memberikan keamanan pada rumah kita, yakin bahwa sang kyai dapat melancarkan bisnis kita, mendatangkan jodoh kita, dan lain-lain. Bahkan seandainya Mr. Bush datang ke Kyai-Kyai perklenikan di Indonesia dia tidak perlu repot-repot menghancurkan Afghanistan hanya untuk mencari seorang Osama bin Laden he..he. Betapa tipis batas antara Ikhtiar dan “menduakan Tuhan”, Bukankah demikian kawan?

Saya tulis reportase ini hanya sebagai bahan renungan, bagi diri saya sendiri, bagi teman-teman yang saya sayangi. Terkadang sangat sulit untuk menjadi ikhlas mencapai tahapan tertinggi yang menguji setiap fase keimanan seseorang. Sangat ringan diucapkan tetapi sungguh sangat sulit untuk membuktikanya, terutama membuktikanya langsung kepada sang Khalik yang mengetahui setitik pun apa-apa yang ada di hati manusia.

Akhirnya, sekedar untuk mengingatkan

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."(QS: 2: 286)

Semarang: 11 Agustus 2004

Teruntuk sahabatku Gita, mudah-mudahan kita diberi kelapangan rezeki dan dimudahkan langkahmu ke tanah suci :-)